Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agar Anak Menjadi Juara

5 Oktober 2011   23:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_139785" align="aligncenter" width="640" caption="Selamat merenda masa depan, Ananda."][/caption]

Setiap orang tua tentu akan bangga, bahagia, dan beragam rasa suka jika anak-anaknya dapat memberikan sesuatu yang berarti baginya. Mungkin anak itu menurut jika diperintah. Mungkin anak itu tekun membantu orang tua meskipun tidak diperintah. Mungkin pula anak itu memberikan prestasi yang tak diduga oleh orang tuanya. Sebagai orang tua, tentu kondisi itu teramat berkesan, termasuk saya pada pagi hari ini. Semalam, saya pulang mengajar sekitar jam 19.30. Anak-anak sudah bersiap tidur karena memang anak-anak memiliki kedisiplinan tidur pada jam 20.00. Jadi, anak-anak sudah gosok gigi dan berbenah di tempat tidur. Saya membiasakan itu sejak mereka masih kecil. Dan ternyata itu membekas dan menjadi kebiasaan. Begitu mendengar deru mesin mobil masuk garasi rumah, anak-anak terjaga. Ketiga anakku berebut menyambut ayahnya. Mereka berebutan membawa tas dan sekadar buah tangan yang kutenteng dalam plastic hitam. Lalu, mereka menuntun ayahnya untuk diajak duduk di ruang keluarga. Saya pun meminta tasku dan meletakkannya di tempatnya. Lalu, ketiga anakku berbagi oleh-oleh yang sengaja saya bawakan. Lalu, mereka menyimpan oleh-oleh itu untuk bekal pergi ke sekolah esok paginya. Tiba-tiba, anak sulungku berkata, "Pak, saya tadi juara." "Juara apa'an?" tanyaku kemudian. Anakku pun bercerita bahwa beberapa hari lalu, anakku ikut lomba berbahasa Inggris. Hasil lomba belum dapat diketahui langsung. Dan panitia lomba baru mengumumkan hasil lomba pagi itu. Lalu, anakku berlari menuju lemari belajarnya. Tak lama kemudian, anakku menyodorkan sebuah piagam penghargaan atas nama Muhammad Zuhdi Alghifari sebagai Juara III. Sungguh saya tak pernah menduga bahwa anakku dapat meraih juara. Saya juga tidak mengetahui aktivitas di sekolah atau di rumah secara detail. Saya menyerahkan urusan anak kepada istriku sepenuhnya. Sesekali saya hanya memantau perkembangan. Jika terdapat masalah, biasanya istriku akan bercerita tentang itu. Prestasi itu menggenapi beragam prestasi lainnya. Ketika duduk di kelas 2 SD, anakku sudah diikutkan Olimpiade Sains dan Kuark. Meskipun tidak meraih prestasi maksimal karena hanya berhasil masuk babak Kabupaten Sragen, saya tentu merasa bangga atas prestasinya. Ketika kenaikan kelas lalu, anakku merangkak naik sehingga meraih ranking IV. Pada kelas 1 semester 1, anakku duduk di ranking 24. Naik ke kelas 2, anakku meraih ranking 13. Kelas 2 semester 1, anakku meraih ranking 6. Dan kenaikan kelas kemarin, anakku meraih ranking 4. Mengapa anakku selalu berkemampuan meraih prestasi meskipun mungkin belum sebanding dengan prestasi anak-anak lain? Sebagai orang tuanya, saya menerapkan lima kebiasaan yang melekat kuat di rumah. Kami (saya dan istri) bersepakat dan menyepakati kebiasaan itu demi masa depan anak-anak. Kelima kebiasaan itu adalah rajin berkonsultasi dengan guru, tidak menonton televisi usai maghrib, mendatangkan guru les, memberikan kebebasan terbatas, dan disiplin waktu. Rajin Berkonsultasi dengan Guru Saya kadang menjemput anak-anak. Jika saya memiliki kesibukan, anakku dijemput istriku. Ketika menjemput anak-anak, biasanya kami mendatangi sekolahnya lebih awal dari waktu kepulangan. Nah, kami menggunakan waktu luang itu untuk berkonsultasi dengan guru kelasnya. Keterbukaan antara guru dan orang tua benar-benar membuka wawasan baru bahwa orang tua mesti memedulikan peran dan fungsi guru yang serba terbatas di sekolahnya. Tidak Menonton Televisi Usai Maghrib Setiap hari, kami melarang anak-anak untuk menonton televisi usai maghrib. Kami mengisi waktu maghrib dengan (kadang) makan malam bersama, mengaji bersama, dan belajar hingga tiba waktu untuk beristirahat atau tidur malam sekitar jam 20.00. Ketika terdengar adzan 'isya, kami pun melaksanakan sholat 'isya berjamaah. Ananda menjadi muadzin atau pengumandang adzan dan iqomah. Lalu, saya menjadi imam sholat yang diikuti istri dan anak-anak. Saya hanya mengizinkan anak-anak untuk menonton televisi jika keesokan harinya mereka libur. Mendatangkan Guru Les Pelajaran di sekolah semakin sulit dan memerlukan bantuan. Saya hanya menguasai keilmuan kebahasaan dan pendidikan secara umum. Istriku menguasai keilmuan agama Islam. Atas keterbatasan keilmuan itu, kami mendatangkan guru les matematika dan IPA ke rumah. Memang kami mesti mengeluarkan biaya. Namun, kami mengikhlaskannya demi masa depan anak. Jika orang tua tidak dapat membantu anak, kepada siapa lagi anak akan bertanya? Memberikan Kebebasan Terbatas Saya memberikan keleluasaan kepada anak-anak untuk bermain. Mereka boleh bermain bola, bermain badminton, bersepeda dan lain-lain. Namun, saya pun membuat larangan. Apa itu? Anak-anak tidak boleh bermain ke jalan raya. Anak-anak harus bermain di tengah kampong. Saya sering menjumpai anak-anak yang menjadi korban kecelakaan. Baru-baru ini, anak pembantuku pun menjadi korban kecelakaan karena maghrib bepergian bersama ayahnya. Tak disangka, ia diserempet anak yang ugal-ugalan. Disiplin Waktu Anak-anak pulang sekolah sekitar jam 14.15. Lalu, anak-anak tidur siang. Bangun sekitar jam 15.30. Anak-anak boleh bermain tetapi harus menunaikan sholat 'asyar dahulu. Sekitar jam 16.30, anak-anak harus mandi dan bersiap makan malam sambil bersantai bersama keluarga. Begitu terdengar adzan maghrib, saya mengajak anak-anak untuk pergi ke masjid. Jika saya tidak berada di rumah, istriku mengajak anak-anak untuk sholat berjamaah di rumah. Memang sebenarnya kita mampu menjadikan anak kita semau kita. Jika kita dapat menjadi figur atau contoh baginya, anak-anak tentu akan meniru orang tuanya. Kita adalah orang terdekat yang paham dan mengenal kepribadian anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, tentu kita mesti bisa memberikan contoh yang baik kepada anak seraya gemar belajar agar anak kita pun rajin belajar. Atas prestasi anakku tersebut, saya memberikan hadiah istimewa: ciuman malam menjelang tidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun