Hasil survei Program for International Student Assesment (PISA) menyebut, 14% siswa di Indonesia menjadi korban bully atau perundungan. Persentase perundungan yang dialami siswa-siswi di Indonesia ini lebih besar dibandingkan dengan rata-rata Negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operating and Development), yakni 23% (Solopos, 7 Desember 2019). Informasi ini tentu sangat mengagetkan banyak kalangan jika dilihat dari angkanya.
Ada tiga penyebab hingga perundungan itu bisa terjadi di sekolah. Pertama, longgarnya pengawasan guru. Perundungan sering terjadi saat waktu istirahat, jam kosong, dan jam olahraga atau kegiatan di luar kelas. Pada waktu istirahat, guru tentu memanfaatkan waktu untuk sekadar minum dan bertemu teman sejawatnya di ruang guru.
Pada jam kosong atau guru berhalangan hadir, biasanya diisi oleh guru piket. Sering guru piket itu hanya menyerahkan tugas kepada para siswa untuk dikerjakan tanpa menungguinya. Ia langsung kembali ke meja piket karena sangat mungkin ada tamu dan tugas lainnya.
Pada jam pelajaran luar kelas juga sering terjadi perundungan. Kegiatan luar kelas atau outing class dilakukan agar para siswa tidak mudah jenuh. Selain itu, materi pelajaran memang memerlukan informasi yang terdapat di tempat tujuan. Pada kegiatan ini, jumlah guru sangat sedikit meskipun melibatkan ratusan anak-anak.
Kedua, beratnya tugas administrasi guru. Banyak orang beranggapan jika tugas guru itu ringan. Katanya, guru tinggal menjelaskan materi di depan kelas, lalu menyuruh para siswa melakukan ini dan itu. Jelas pendapat itu salah besar.
Tugas pokok guru itu ada lima, yakni menyiapkan pelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, melakukan remedial atau perbaikan, dan melakukan pengayaan atau pendalaman materi. Tugas satu dan dua tidak masalah, tetapi tugas tiga, empat, dan lima sering membuat guru kerepotan.
Coba dibayangkan kondisinya jika seorang guru mengajar 10 kelas yang masing-masing kelas memiliki 30 siswa. Artinya, guru harus mengoreksi pekerjaan 300 anak hanya untuk satu kompetensi dasar. Jika guru harus menyampaikan empat kompetensi dasar, itu berarti guru mesti mengevaluasi 1200 pekerjaan siswa. Itu baru evaluasi atau ulangan, belum termasuk meremidi dan memperkaya para siswa yang nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Itu baru tugas pokoknya.
 Di sekolah, guru juga mendapatkan tugas tambahan, seperti menjadi walikelas, pembina ekstrakurikuler, dan menjadi wakil kepala sekolah. Masing-masing tugas tambahan ini juga memiliki pekerjaan yang harus dituntaskan. Ini pun belum termasuk tugas pribadi guru yang mengurus administrasi kepegawaian, rapot elektronik, dapodik dan lain-lain.
Ketiga, regulasi yang membatasi kewenangan guru. Di sekolah, sekarang guru tak berani lagi memberikan hukuman yang keras kepada para siswa yang melanggar tata tertib. Satu sebab, yakni guru takut berurusan dengan hukum akibat tindakannya itu. Maka, guru pun membiarkan saja para siswa yang jelas-jelas berbuat menyimpang karena dirundung ketakutan.
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) sering disalahgunakan untuk menyerang posisi guru. Banyak guru menjadi korban kebrutalan siswa yang ditindaknya. Ada guru yang meninggal akibat ditusuk pisau oleh siswanya karena guru menegur si siswa yang ketahuan membawa hape ke sekolah. Ada guru yang berkelahi dengan siswa akibat tidak terima dengan tindakan guru. Videonya viral saat ini.
Kuncinya Perlindungan Guru