[caption caption="Koran Joglosemar Sabtu, 26 Maret 2016"][/caption]Central Connecticut State University di New Britain, Conn., Amerika Serikat, mengadakan penelitian di bidang literasi yang hasilnya menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Lima negara menempati posisi terbaik adalah Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Kita mungkin tidak terkejut karena budaya literasi memang masih sangat rendah. Kita jarang menemukan masyarakat yang sedang membaca, apalagi menulis. Masyarakat biasa hidup konsumtif sehingga urusan perut diprioritaskan.
Kondisi itu bertolak belakang dengan negara-negara maju. Jika berada di taman kota, berjalan-jalan, atau naik kendaraan umum, kita mudah menjumpai orang yang asyik membaca buku. Dari kebiasaan membaca itu, wajarlah masyarakat negara maju cerdas karena budaya literasi sudah sangat mengakar.
Budaya literasi dapat diawali dari rumah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menyatakan bahwa keluarga dan orang tua merupakan pendidik terpenting untuk anak. Oleh karena itu, keluarga harus melek literasi agar terbangun mind set ilmiah. Salah satu faktor utama membentuk pola pikir itu adalah membaca. Budaya membaca harus ditumbuhkan dari rumah dan diteruskan di sekolah.
Sayangnya, banyak keluarga belum menyadari manfaat membaca. Ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Satu, membaca masih dianggap sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu dan energi. Pendapat itu ada benarnya jika membaca dilakukan pada jam efektif bekerja.
Oleh karena itu, sebaiknya membaca dilakukan pada waktu luang, seperti sedang menikmati perjalanan, mengantre, beristirahat, menjelang tidur dan lain-lain. Dengan demikian, membaca tidak mengganggu pekerjaan utama.
Dua, keterbatasan sumber bacaan. Keterbatasan sumber bacaan ini sering disebabkan keterbatasan keuangan keluarga. Kondisi itu dapat disiasati dengan menjadi anggota perpustakaan, bergantian meminjam buku, atau menyewa. Dengan upaya itu, sumber bacaan dapat dicarikan variasinya meskipun berdurasi pinjaman yang sangat terbatas waktunya. Jika masing-masing anggota keluarga berusaha, tentu buku itu dapat dibaca secara bergantian.
Tiga, buku itu bacaan berat. Ada anggapan bahwa buku itu hanya layak dibaca oleh anak sekolah karena bahasanya sering membuat dahi berkerut. Sumber bacaan tidak hanya berbentuk buku, tetapi bisa berwujud majalah, buletin, koran, dan lain-lain. Selain harganya relatif murah, kontennya pun sangat variatif.
Generasi Cinta Baca
Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi diri dan masyarakat. Seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Ungkapan cukup populer menyebutnya tidak omdo alias omong doang (baca: hanya pintar bicara).
Karena membaca sarat manfaat, setiap keluarga perlu menjadikan membaca sebagai sebuah budaya keluarga. Anak-anak perlu dibentuk agar menjadi generasi yang cinta baca. Jika membaca sudah menjadi sebuah budaya keluarga, tentu kecerdasan anak pun terbentuk.