Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Mendikbud (Pura-Pura) Terkejut

25 September 2012   02:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tiga faktor penentu keberhasilan pendidikan, yaitu guru, bahan ajar, dan partisipasi masyarakat. Guru berperan penting terhadap keberhasilan pendidikan karena guru adalah pentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Jika gurunya cerdas, 99% anak-anak akan dapat dicerdaskan. Oleh karena itu, guru harus memiliki kecakapan agar tujuan itu benar-benar dicapai.

Namun, keberhasilan pendidikan juga teramat ditentukan oleh ketersediaan bahan pembelajaran. Bahan itu harus disiapkan guru sebelum melaksanakan pembelajaran di kelasnya. Bahan pembelajaran itu teramat penting diketahui sebelum diajarkan agar tujuan pendidikan tercapai. Oleh karena itu, mestinya guru membaca dan menguasai bahan pembelajaran itu sebelum disampaikan kepada peserta didik. Namun, apa jadinya jika guru tidak membaca dan menguasai bahan pembelajaran sedangkan guru adalah salah satu sumber pengetahuan bagi peserta didik?

Kemarin saya membaca berita yang dimuat kompas.com tentang perintah Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kepada penerbit LKS Miyabi agar Lembar Kerja Siswa (LKS) yang memuat foto Miyabi ditarik dari peredaran. Memang LKS itu menampilkan tokoh porno tersebut di salah satu materinya. Namun, foto itu tertampilkan sopan berdasarkan materi yang dituliskan di sana. Bahkan, seorang tokoh pendidikan dari Surabaya berpendapat bahwa foto itu baik-baik saja dan tidak perlu dikhawatirkan. Saya menyimak pendapat itu karena disiarkan televisi.

Memerhatikan informasi ini, saya terheran-heran. Keheranan ini dipicu oleh kelambatan reaksi yang dilakukan oleh Mendikbud. Kasus inibukanlah kasus pertama, melainkan sekian puluh kasus-kasus setelahnya. Mungkin kita masih ingat dengan LKS tentang pelajaran Pancasila yang justru mengajarkan penolakan nilai-nilai Pancasila. Lalu, LKS SD yang berisi tentang kisah-kisah asmara. Belum lagi kasus buku bantuan yang berisi cerita tentang percintaan. Dan terbaru adalah kasus LKS Miyabi itu.

Ketika menelaah kasus ini, saya kok justru memiliki pendapat lain. Ketika foto Miyabi itu tampilkan secara sopan di LKS, semua orang berteriak-teriak bahwa LKS itu mengajarkan pornografi kepada anak didik. Lho, dimana mereka mendapatkan kabar bahwa Miyabi adalah bintang film porno? Pastilah mereka pernah menonton film porno Miyabi, atau bahkan mengoleksinya. Hahahaaa.....!!!!

Saya yakin bahwa peserta didik tidak mengetahui profil Miyabi di LKS itu. Selintas saya tidak membaca nama Miyabi tertulis di bawah gambar atau fotonya. Bahkan, foto Miyabi terpampang sangat sopan dan cantik. Karena gambar itu memang cantik dan menarik, peserta didik pastilah memikirkan relevansi gambar dengan wacana dan pertanyaan dalam materi itu. Jadi, sebenarnya, siapakah yang memiliki pikiran kotor itu: murid, guru, atau penulis LKS?

Telah diakui oleh penulis LKS bahwa dirinya tidak mengenal Miyabi sebagai bintang foto porno. Penulis hanya mencari gambar yang relevan sebagai ilustrasi materi pembelajaran dan tidak mengenal atau mengetahui bahwa gambar itu adalah bintang film porno. Entah itu sebagai pembelaaan entah itu memang pernyataan jujur, saya menangkap kejujuran dalam ucapannya.

Terkuaknya LKS Miyabi justru merupakan tamparan keras kepada Mendikbud. Betapa menjamurnya bisnis LKS di dunia pendidikan. LKS yang hanya berisi materi dasar dan soal-soal seakan menjadi kitab suci bagi guru dan murid. Guru enggan menggunakan buku teks karena dinilai terlalu luas dan tebal. Pada awalnya, sebenarnya LKS hanya berfungsi sebagai penguat, kini LKS telah menjadi pengganti buku teks. Bukankah LKS merupakan salah satu instrumen penilaian dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru?

Kini, mestinya Mendikbud segera melarang peredaran LKS ke sekolah-sekolah. LKS telah menjadi racunbagi guru dan murid. Boro-boro guru mau menulis buku teks, bahkan LKS telah menyebabkan keengganan guru untuk belajar dan membaca buku teks karena tersedianya LKS. Kini murid pun telah dianggap sebagai kelinci percobaan terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Buat anak kok coba-coba. Jangan pura-pura terkejut, Pak Menteri!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun