Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Salahkan Guru Melakukan Tindakan Fisik

10 September 2012   08:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:41 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Burung-burung mulai kembali dan tidur di sarang masing-masing ketika para jamaah sholat maghrib mulai pulang ke rumah masing-masing. Kampung itu terlihat mulai sepi karena kendaraan pun mulai jarang terlihat berseliweran. Masing-masing penghuni rumah mulai menyibukkan rutinitas untuk malam harinya, termasuk sebuah rumah di dekat sebuah sekolah. Itulah rumahku.

Malam itu, usai pulang menunaikan sholat maghrib berjamaah ke masjid, saya mulai membimbing anak-anakku agar mengaji terlebih dahulu karena anak-anak sudah makan malam sore tadi. Jadi, kegiatan malam adalah mengaji dan belajar untuk pelajaran hari berikutnya. Sejak kecil, saya sudah membangun budaya itu seraya mematikan televisi sehabis maghrib. Memang pada awalnya si bungsu yang masih berumur 2,5 tahun menangis karena ingin menonton televisi. Dengan kesabaran, akhirnya sibungsu pun mulai terbiasa mengenal buku sambil sesekali tertawa-tawa kecil ketika melihat gambar-gambar lucu yang sengaja saya belikan.

Di tengah-tengah asyiknya saya menemani anak-anak belajar, tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Langsung saja si bungsu berlari menuju pintu. Memang begitulah kebiasaan anak bungsuku yang sangat senang manakala kedatangan tamu. Begitu pintu terbuka, sepasang suami-istri dengan seorang anak terlihat berdiri di depan pintu. Saya belum mengenalnya sehingga saya langsung saja bertanya keperluannya. Dan alangkah terkejutnya, ternyata beliau adalah orang tua muridku. Langsung saja saya memersilakan mereka untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Setelah duduk santai, mulailah kami terlihat ngobrol. Dari obrolan inilah terkuak tujuan orang tua siswaku ini.

Sehari-hari, ayah muridku, sebut saja Didik, bekerja sebagai salah satu direksi di Bank BUMN Kota Solo sedangkan istrinya menjadi ibu rumah tangga. Mereka datang dari rumahnya nun jauh semata ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepadaku. Menurut ceritanya, anaknya kini telah berubah secara drastis setelah menerima hukuman dariku. Anaknya kini rajin belajar dan tak lagi sering membolos sekolah. Lambat tapi pasti, prestasi anaknya pun mulai naik. Puncaknya, anaknya kemarin lulus dan diterima di lembaga pendidikan favorit di Kota Bengawan.

Tentu perubahan ini sempat mengagetkan orang tua karena mereka sering dibuat jengkel akibat ulah anak lelakinya itu. Anaknya selalu pulang larut malam dan motornya pun dipretheli nyaris tanpa bentuk. Jika ditanyai, anak itu malah marah dan langsung menutup pintu kamarnya. Dan jika sudah berperilaku demikian, orang tuanya mengalah. Justru ketika orang tuanya mengalah itulah, kenakalan anaknya kian menjadi-jadi. Itu terlihat ketika sang anak masuk sekolah. Wajahnya tampak kusut, badannya kotor, mata memerah, dan mudah gelisah ketika pelajaran berlangsung. Nyaris semua guru sudah mengeluhkan kondisi Didik dan menyerah. Namun, saya tidak menyerah menghadapi anak bengal itu.

Suatu hari, saya mengajar kelas Didik. Ketika sedang mengajarnya, saya meminta setiap murid agar mengeluarkan pekerjaan rumahnya. Saya akan memanggil satu demi satu setiap anak ke depan kelas untuk menunjukkan PR-nya tersebut. Satu demi satu setiap anak menunjukkan PR dan saya pun memilih satu-dua anak untuk menuliskan jawaban yang salah di papan tulis. Dan dari sinilah, kejengkelanku memuncak.

Ketika memanggil anak bengal itu, Didik tidak dapat menunjukkan PR-nya. Tanpa rasa bersalah, anak itu menjawab panggilanku sambil tetap duduk di kursinya. Tentu saja sikap anak itu memancingku untuk mendekatinya. Ketika saya sudah berdekatan, saya pun meminta Didik agar menunjukkan buku catatan dan buku tugas. Sungguh saya dibuat kaget, tercengang, dan marah. Bukunya sama sekali tak ditemukan tulisan yang berguna. Buku-buku tulis itu justru dipenuhi beragam gambar atau coretan bolpoin atau spidol. Tak tampak sama sekali perasaan bersalah di wajah Didik. Mendapati Didik berperilaku demikian, saya langsung memarahinya di tempat duduk dan menjewer telinganya. Usai menjewer Didik sambil memarahinya tadi, saya pun berjalan ke depan kelas. Di depan kelas itulah, saya berujar dengan suara lantang kepada semua anak di kelas tersebut.

“Anak-anak, kalian jangan sombong atau menyombongkan diri karena orang tua kalian kaya-raya. Ingat baik-baik, yang kaya-raya adalah orang tua kalian. Untuk menjadi kaya seperti sekarang, orang tua kalian bekerja keras siang-malam. Tak pernah sekalipun orang tua akan mengeluh meskipun kelelahan. Kini, orang tua kalian mulai menikmati hasilnya. Kalian pun menjadi anak yang bahagia karena segala keinginanmu dicukupi. Namun, kalian harus ingat. Orang tua kalian pasti sudah tua dan sebentar lagi mati. Jika orang tua kalian mati, seluruh hartanya akan dibagi sejumlah saudaramu. Jika kalian mengandalkan kekayaan orang tuamu, berapakah kekayaan yang diberikan kepadamu? Tak seberapa dan pasti cepat habis. Jika harta kalian habis, siapakah orang yang akan menolongmu? Semua saudaramu pasti sibuk memikirkan nasibnya masing-masing.

Oleh karena itu, hendaknya kalian bersyukur karena memiliki orang tua yang penuh kasih sayang. Segala keinginanmu dituruti. Mestinya kalian menggunakan kekayaan orang tua tadi untuk memintarkan kamu. Jika kalian pintar, tentu kalian tidak akan bernasib buruk. Dengan ilmu yang kalian kuasai, kalian dapat mencari pekerjaan dan hidup mandiri. Betapa besar dosa kalian karena menyia-nyiakan kepercayaan orang tua. Selalu terlambat datang ke sekolah, di kelas bermalasan, PR tidak dikerjakan, mau jadi apa kalian? Gelandangan!” bentakku sambil melotot ke arah Didik dan seluruh penjuru kelas. Kelas pun hening.

---

Terinspirasi tulisan sahabatku, Ifa Hanifah Misbach, yang menulis artikel berjudul Oh, Pak Nuh, saya tergugah untuk berbagi pengalaman selama menjadi pendidik. Berdasarkan artikel tersebut, pada intinya penulis menyayangkan sikap Mendikbud yang membolehkan guru untuk melakukan tindakan fisik jika diperlukan. Saya sependapat dengan Pak Nuh bahwa tindakan fisik memang kadang diperlukan jika sudah menghadapi kelakuan murid yang teramat keterlaluan. Bukan untuk menyakiti tetapi mendisiplinkan.

Perlu diketahui bahwa haram hukumnya jika guru berniat jahat ketika memberi hukuman kepada murid-muridnya. Semua tindakan fisik itu semata bertujuan untuk mendisiplinkan perilaku anak agar menjadi generasi yang tanggap dan tangguh. Kenakalan anak sekolah kian hari kian mengkhawatirkan kita. Di mana-mana, begitu mudah kita menjumpai, mendengar, dan membaca berita tentang kenakalan anak sekolah. Jika anak Anda nakal, siapakah pihak yang akan Anda salahkan?

Sebagai orang tua, mestinya Anda menyadari bahwa Anda telah menyerahkan pendidikan anak Anda itu ke sekolah. Jika sekolah terpaksa melakukan tindakan fisik, semata itu bertujuan agar anak tidak mengulangi kenakalannya alias jera. Efek jera itu diperlukan agar anak mendapatkan haknya, yaitu pendidikan bermutu. Justru jika Anda selalu membela kenakalan anak dengan alasan melindungi hak anak, Anda salah besar. Justru Anda telah menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan karakter.

Oleh karena itu, seyogyanya sesekali Anda berkunjung ke sekolah untuk mengetahui perkembangan anak Anda. Jangan Anda selalu mangkir memenuhi panggilan guru dengan beralasan sibuk bekerja. Mana yang lebih penting, anak atau pekerjaan? Anak itu hanya belajar 5 jam di sekolah dan 19 jam luar sekolah. Mengapa Anda begitu mudah menyalahkan guru ketika guru itu berusaha mendisiplinkan anak Anda yang memang nakal sedangkan Anda tak mampu menanganinya sendiri? Relakah Anda menyaksikan kenakalan anak Anda kian hari kian menjadi-jadi? Jawab saja sendiri!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun