Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jika Perceraian Menjadi Pilihan

25 Agustus 2012   14:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:20 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua agama pasti mengajarkan kebaikan bagi umatnya. Nilai dan ajaran agama itu harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena manusia tak mungkin mampu mencukupi kebutuhannya, Tuhan memberikan bantuan melalui penciptaan pasangan hidup. Dengan berpasang-pasangan, Tuhan berharap agar manusia menyadari kekurangan diri. Belajar dari kekurangan itu, manusia pun mampu menutup kekurangan menuju kondisi yang lebih baik. Maka, benarlah doa yang disampaikan pemuka agama ketika pasangan itu dinikahkan. Pasti doa itu berisi permohonan kepada Tuhan agar keluarga yang dibangunnya berjalan langgeng, abadi, dan bahagia hingga kematian menjadi pemisahnya.

Namun, banyak manusia tidak mampu menahan godaan yang menari-nari di depannya. Godaan itu memang dibuat syetan yang memang tidak menghendaki manusia bahagia. Syetan memang lihai menggoda manusia dengan iming-iming surga. Dibangunnya angan-angan bahwa pasangannya memiliki beribu kekurangan. Kekurangan dan atau cacat pasangan itu selalu didengung-dengungkan di telinga manusia. Karena teriming-imingi godaan syetan itulah, manusia pun tergelincir. Sedikit demi sedikit manusia itu mulai berusaha membenarkan pendapat syetan. Ternyata kamu tak sebaik dugaanku. Sungguh aku teramat kecewa memilihmu sebagai pendamping hidupku. Itulah kalimat yang keluar dari manusia karena tergoda iming-iming syetan. Maka, malapetaka pun datang melalui jatuhnya talak alias cerai!

Kaget bukan main saya malam ini. Ketika sedang bertandang ke rumah tetangga, saya dikejutkan oleh tersiarnya kabar tentang perceraian. Sebuah keluarga yang sudah lanjut usia harus diakhiri dengan perceraian. Bagaimana tidak terkejut karena keluarga itu sudah memiliki (kalau tidak salah) 7 cucu dari empat anaknya. Saya tidak mengetahui penyebab perceraian secara detail meskipun tersiar kabar bahwa penyebab perceraian itu adalah perselingkuhan yang dilakukan sang bapak atau ayah atau kakeknya.

Alangkah bijaksananya jika keluarga itu belajar dari hikmah pernikahan. Menurutku, pernikahan tidak bertujuan untuk menyatukan dua perbedaan. Pernikahan bertujuan sekadar memertemukan dua perbedaan karena air dan minyak memang tidak dapat disatukan. Oleh karena itu, suami berkewajiban menjadi pemimpin keluarga yang baik. Suami mestinya menjadi seorang pemimpin seraya berusaha menjadi pelindung, penenang, dan pencukup kebutuhan. Namun, suami boleh meminta bantuan kepada istri jika memang ia tidak mampu mengatasi beragam kewajiban tersebut.

Di sinilah awal petaka itu terjadi. Agaknya suami bersikap sombong dan arogan seraya menyepelekan kemampuan istri. Ia beranggapan bahwa dirinya memiliki segenap kemampuan untuk mencukupi kebutuhan tersebut tanpa meminta bantuan kepada istrinya. Ia bekerja sendiri. Namun, ternyata memang sang suami jelas memiliki keterbatasan. Pada kesempatan seperti inilah, syetan membisikkan sebuah rayuan. Nun jauh di sana, seorang janda sedang kesepian. Janda itu menawarkan bantuan pada saat yang tepat. Gayung bersambut. Uluran bantuan sang janda diterima laki-laki yang sudah beristri tadi. Awalnya bantuan itu tidak bertendensi lain. Mengutip ungkapan Jawa, wong tresno jalaran soko kulino atau cinta itu berawal dari terbiasa. Listrik 1000 watt itu tiba-tiba mengalirkan tegangan tinggi.Dan terjadilah hubungan pendek!

Mengapa perceraian dipilih? Itulah sebuah pertanyaan yang sempat terpikir olehku. Menurut agamaku, perceraian memang berhukum mubah atau dibolehkan. Namun, memertimbangkan beragam aspek, mestinya pasangan itu berpikir panjang karena perceraian itu jelas akan memengaruhi kehidupan mendatang. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga berpengaruh kepada anak cucu dan keluarga besar serta lingkungannya.

Setidak-tidaknya, saya bisa memberikan tiga masukan penting tentang perceraian. Pertama, pertimbangkanlah masak-masak tentang anak jika sudah memiliki keturunan. Anak adalah buah perkawinan yang teramat penting untuk diperhatikan. Ingatlah baik-baik bahwa tidak pernah ada mantan ayah atau ibu. Baik-buruk kelakuan orang tua pastilah menurun kepada anak-anaknya. Perceraian jelas akan memberikan contoh yang tidak baik bagi mereka. Di sinilah orang tua harus berpikir tentang psikologi anak. Kejiwaan anak belum matang sehingga mudah terpengaruh dengan segala yang dilihat, didengar, dan dibacanya.

Kedua, pertimbangkanlah karier atau profesi Anda. Berpuluh-puluh tahun Anda membangun karier. Jatuh bangun akibat badai masalah profesi berhasil diatasi sehingga karier Anda memuncak. Ketika Anda hampir mencapai puncak, tentu angin akan bertiup kencang. Di sinilah tekad Anda itu diuji. Sanggupkah Anda meneruskan langkah mencapai puncak? Ataukah Anda justru memilih turun lagi dengan melangkah dari nol lagi? Di manakah muka Anda akan diletakkan jika Anda memiliki banyak kolega dan atau karyawan?

Ketiga, sulit dicapai pasangan hidup baru yang sebaik pasangan lama. Awalnya memang terasa indah, tetapi itu sering terjadi pada awal pernikahan baru. Sebaik-baik pasangan adalah pasangan lama karena sudah dikenalnya lebih lama. Segala karakter sudah dihafal sehingga beragam masalah dapat terpecahkan. Coba kita berpikir tentang pasangan baru? Kita harus memulai dari nol untuk mengenal karakternya. Jelas itu akan menguras energi kesabaran yang luar biasa. Maka, benarlah ungkapan orang tua bahwa sebaik-baik rumah adalah rumah yang dibangun berdua.

Nasi sudah menjadi bubur. Talak sudah telanjur diucapkan dan perceraian sudah terjadi. Maka, persiapkanlah diri sebaik-baiknya untuk menikmati hidup dalam status baru: janda atau duda. Tidak sedikit janda/ duda sukses dengan menjadi single parent tetapi sangat banyak pula janda/ duda sukses membangun keluarga baru. Hidup memang berisi banyak pilihan karena Tuhan memang sudah memberikan otak agar kita mau berpikir tentang pilihan hidup.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun