Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sungguh Aneh Sekolah Swasta di Jogjakarta

13 Juni 2012   06:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 5132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jogjakarta atau Yogyakarta terkenal dan dikenal sebagai Kota Pelajar atau Kota Pendidikan. Itu disebabkan begitu banyaknya lembaga pendidikan yang tersebar di sana. Dari jenjang PAUD/ TK hingga Perguruan Tinggi Negeri/ Swasta, Jogjakarta memilikinya. Selain jumlahnya melimpah, konon kualitas lulusannya pun dikenal bagus karena saya juga pernah mengenyam kuliah di IKIP Yogyakarta. Namun, saya sempat tersentak dengan kabar yang terasa tidak mengenakkan telinga dan rasa. Kabar apakah itu?

Minggu (10 Juni 2012), saya dolan atau berkunjung ke Jogjakarta. Kebetulan saya harus mencari beragam buku referensi untuk penyusunan disertasiku. Saya mengalami kesulitan jika ingin mendapatkan buku-buku penting itu di Solo. Selain sulit, harganya pun teramat mahal. Maka, pada Minggu itulah, saya sengaja meluangkan waktu untuk mengejar ilmu sembari berusaha mengobati kekangenanku kepada kota yang pernah memberikan “kenangan” indah yang tak terlupakan.

Ketika saya berada di Jogjakarta, saya ditemani oleh seorang kawan lama. Kebetulan temanku itu bertempat tinggal di Jogjakarta. Saya diantar ke semua arah yang saya inginkan. Memang saya mengenal temanku itu sebagai teman yang teramat baik. Meskipun sudah memiliki tiga orang anak, ia masih berusaha memberikan layanan kepada kawan lamanya. Dan dari temanku itulah, saya mendapatkan kabar “buruk” tentang dunia pendidikan di Jogjakarta. Kabar buruk apakah itu?

Dua anak temanku bersekolah di sekolah swasta. Menurut kabar temanku, pendidikan di Jogjakarta teramat mahal. Selain biaya sekolah, biaya harian pun sangat mencekik leher. Belum lagi biaya kegiatan di luar sekolah. Dari sekian banyak jenis biaya yang harus dikeluarkan, temanku teramat merasa keberatan dengan biaya daftar ulang. Memang lucu sekali sekolah swasta di Jogjakarta. Selain dikenai biaya masuk yang terbilang mahal, orang tua siswa pun masih dikenakan biaya daftar ulang. Bagaimanakah modusnya?

Setiap awal tahun pelajaran, semua siswa harus melakukan daftar ulang. Jadi, daftar ulang tidak hanya dilakukan oleh siswa baru. Ketika melakukan daftar ulang, pihak sekolah menyodorkan beragam jenis pungutan atau beban biaya pendidikan kepada orang tua siswa. Jumlahnya pun relatif besar karena bisa menyentuh jutaan. Jelas pungutan itu teramat membebani orang tua siswa. Mengapa sekolah itu mewajibkan siswanya untuk melakukan daftar ulang? Mungkin pihak sekolah ingin meniru regulasi yang berlaku di perguruan tinggi. Dan inilah perbedaannya!

Memang setiap perguruan tinggi mewajibkan mahasiswa baru dan lama untuk melakukan daftar ulang. Hal ini disebabkan status mahasiswa yang berbeda-beda. Pertama, mahasiswa memiliki perbedaan tingkat kelulusannya. Perlu diketahui bahwa setiap semester setidak-tidaknya perguruan tinggi melakukan wisuda sekali. Karena jumlahnya berubah-ubah, pengelola perguruan tinggi perlu melakukan pendaftaran ulang atau heregristasi bagi semua mahasiswa.

Kedua, perguruan tinggi mengenal system semester pendek dan beragam jenis kelas. Semester pendek bertujuan untuk memangkas waktu studi mahasiswa agar cepat selesai. Jenis-jenis kelas pun diberikan karena mahasiswa berasal dari beragam profesi. Oleh karena itu, pengelola perguruan tinggi berusaha memberikan kelonggaran waktu dan biaya, semisal kelas regular, kelas nonregular, kelas jauh, kelas eksekutif dan lain-lain.

Ketiga, jenjang pendidikan. Perguruan tinggi memiliki otoritas pengelolaan. Oleh karena itu, rektorat menjadi pihak yang bertanggung jawab secara langsung atas lulusannya. Maka, kampus boleh melakukan ujian dan wisuda berdasarkan kalender pendidikan yang ditetapkan. Karena itulah, kampus memang memiliki standar berbeda dalam segala bentuk manajemen.

Sekolah tidak memiliki tiga jenis keistimewaan di atas. Semua siswa segala jenjang mengalami ujian yang sama dan kenaikan kelas yang sama. Semua siswa dikelompokkan berdasarkan kelas-kelas yang sama dan tidak dikenal diskriminasi kelas. Dan kebijakan sekolah harus berdasarkan keputusan pemerintah meskipun sekolah itu berstatus sekolah swasta. Pemerintahlah yang berhak menentukan kelulusan.

Atas informasi itu, mestinya pemerintah, dewan pendidikan, dan komite sekolah tidak membiarkan pungutan berdalih daftar ulang. Regristasi atau daftar ulang dilakukan hanya sekali, yakni saat anak diterima di sekolah tersebut. Setelah itu, anak berhak mendapatkan layanan pendidikan. Jika sekolah swasta masih melakukan penarikan biaya atas nama daftar ulang, menurutku, sekolah swasta tersebut harus diberi sanksi tegas: DITUTUP!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun