Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Mendikbud, Mohon Tulisan Ini Dibaca!

29 Maret 2012   03:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggapan bahwa Ujian Nasional (UN) adalah hantu yang menakutkan ternyata bukanlah omong kosong. Itu terbukti bahwa begitu banyak orang ketakutan dengan hantu UN tersebut. Tidak hanya siswa yang ketakutan terhadap hantu UN, tetapi juga para orang tua. Dan rasa takut itu tidak hanya menyebabkan sakit, tetapi bahkan menelan korban jiwa.

Ya, hantu UN telah makan korban jiwa. Adalah Wahyu Saputro (16) siswa SMP Negeri Trucuk Klaten telah menjadi korban hantu UN. Karena takut tidak lulus, Wahyu nekad bunuh diri dengan cara menggantung diri. Demikian berita yang dimuat Harian Solopos hari ini (Kamis, 29 Maret 2012).

Sebenanya korban hantu UN tidak hanya menelan korban jiwa. Seminggu lalu, sekitar 7 siswa sebuah sekolah negeri di daerahku jatuh pingsan saat mengikuti Training and Motivation yang diselenggarakan pihak sekolah. Tak kuat menahan rasa takut gagal alias tidak lulus, 7 siswa itu tergeletak di aula sekolahnya. Sontak kejadian itu membuat suasana sekolah menjadi kacau.

Pak Mendikbud, sebenarnya cukup banyak korban disebabkan hantu UN. Tentunya Bapak juga sudah mendengar laporan dari staf Bapak. Lalu, apakah Bapak akan mendiamkan saja korban-korban itu terus berjatuhan? Hanya sekadar bertaruh demi satu kata: LULUS, mereka harus menjadi korban hingga nyawa melayang. Sungguh peristiwa itu teramat menyayat hati dan memalukan!

Pak Mendikbud, apakah Bapak tidak dapat memaknai arti kata ujian? Kata itu teramat berbeda. Menurut KBBI (Hasan Alwi, 2008: 1518), ujian adalah sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu. Itu berarti bahwa seharusnya UN tidak digunakan untuk menentukan kelulusan. Ujian hanya berfungsi untuk menguji mutu pendidikan.

Namun, Bapak Mendikbud telah menyalahartikan ujian sebagai harga mati, yakni jawaban lulus dan tidak lulus. Jelas itu berarti bahwa Bapak telah merampas dan menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Semestinya UN tidak mengenal lulus atau tidak lulus karena mereka berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Namun, Bapak telah menghalangi keinginan itu.

Jujur saja, Pak Mendikbud, saya dipusingkan dengan UN. Mengapa Bapak masih ngotot untuk menyelenggarakan UN dengan menentukan kelulusan anak didik? Biarkanlah mereka menamatkan pendidikan berdasarkan jenjangnya. Mengapa Bapak menghalangi niatan itu? Jika memang Bapak ingin melakukan evaluasi, silakan Bapak menyusun instrumen penilaian ketika anak didik akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya? Semacam UMPTN itulah. Jadi, biarkanlah sekolah tujuan menyelenggarakan seleksi mandiri untuk menyeleksi anak yang ingin bersekolah ke sana.

Namun, Bapak telah menghilangkan hak anak untuk sekadar meneruskan pendidikan. Bapak telah menetapkan peraturan yang membelenggu mereka sehingga mereka terhalang untuk meneruskan karena mereka harus lulus UN. Terlebih, Bapak juga tidak mengeluarkan biaya sepersen pun kepada mereka. Toh orang tuanyalah yang membiayai semua kebutuhan itu. Benar-benar kebijakan Bapak kontraproduktif!

Sebagai pendidik, saya bermohon agar Bapak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan UN dan urgensinya. Mohon Bapak tidak memaksakan diri untuk tetap menyelenggarakan UN pada tahun-tahun mendatang. Saya khawatir jika nantinya UN akan menelan korban lebih banyak lagi. Semoga bapak berkenan membaca tulisan ini dan benar-benar memikirkan dampak buruk UN. Amin.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun