[caption id="attachment_167893" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Banyak cara digunakan orang untuk memerbaiki kualitas hidupnya. Jika ingin menjadi orang cerdas, ia akan menimba ilmu lagi meskipun umurnya sudah terbilang tua. Ia meyakini bahwa ilmu akan mengangkat derajat dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Maka, keterbatasan ekonomi, jarak, waktu, dan tenaga tak lagi menjadi penghalang baginya untuk mencari ilmu. Salut atas semangat itu. Untuk meningkatkan kualitas kekayaan, orang pun dapat menempuh beragam cara. Ada yang bertani, berbisnis, belajar berinvestasi, dan juga korupsi. Jika hidup di kampong sepertiku, saya tidak kaget dengan segala kekayaan orang kampong. Mana ada orang kampong yang kaya, mungkin itu adalah kesangsian sedikit orang. Jika tidak memercayainya, silakan tulisan Mengintip Kekayaan Orang Kampung dibaca. Mereka bias bertani, berdagang, dan juga beternak. Namun, hendaknya kita tidak memerkaya diri dengan korupsi. Berbincang tentang korupsi, saya tergelitik untuk menuliskan pengalaman. Saya itu jarang dan teramat jarang terlibat dalam masalah keuangan. Oleh karena itu, saya tidak mengetahui "polah" para koruptor ketika berkeinginan untuk korupsi. Saya baru mengetahui bahwa korupsi itu terjadi ketika menemukan beragam kejadian dan kemudian membuktikannya. Lalu, saya pun menarik simpulan bahwa korupsi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, me-mark-up harga barang. Saya pernah membawa berita bahwa KPK menemukan bahwa banyak tindakan korupsi dilakukan dengan menggelembungkan harga barang. Main stempel dan nota pembelian. Pedagang memeroleh keuntungan tetap, tetapi pembeli alias koruptor mendapatkan keuntungan berlebih. Seperti yang pernah saya alami. Saya pernah diminta teman-teman kampus untuk mencarikan bus guna kegiatan studi banding. Lalu, saya pun mulai mencari informasi biro-biro perjalanan. Dan akhirnya saya menemukan sebuah biro yang menurutku baik. Ketika saya berkunjung ke kantor biro, tak disangka bahwa saya mengenal kepala bironya. Lalu, saya pun menerangkan tujuanku. Dan terjadilah negosiasi harga. Pada waktu negosisasi itulah, saya mendapatkan informasi bahwa seorang oknum yang juga kawanku "bermain" dengan cara menyampaikan informasi salah. Oknum itu berkata bahwa harga biro memang sudah disepakati. Oknum itu menyatakan bahwa dirinya tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari biro. Namun, justru pihak biro menjelaskan bahwa oknum itu minta "jatah" yang terbilang besar. Karena berjiwa bisnis, pihak biro menyepakatinya dan terjadilah transaksi. Usai mendengar itu, barulah saya percaya bahwa penampilan itu benar-benar menipu. Kedua, meminimkan kegiatan berhonor dan menambah item belanja barang. Saya sering mendapat keluhan dari teman. Ia menyesalkan bahwa lembaganya tidak menyetujui kegiatan yang diusulkannya. Menurut penjelasan atasannya, keuangan lembaga sedang menipis. Namun, terkesan teramat lucu karena uang selalu tersedia ketika belanja barang. Saya hanya menerangkan bahwa honor panitia jelas sulit untuk dikorupsi. Namun, harga barang mudah sekali disulap sehingga memberi keuntungan lebih kepada atasan. Maka, saya menyarankan temanku agar mencari sponsor saja jika ingin mengadakan kegiatan. Jelas terjadi transaksi yang sah dan saling menguntungkan. Ketiga, mengubah kebijakan. Setiap lembaga pasti memiliki rencana strategis alias program kerja. Semua kebijakan menuju ke arah yang sama, yakni tujuan lembaga. Begitulah seharusnya yang terjadi. Namun, begitu banyak kegiatan-kegiatan di luar program keja dilakukan lembaga dengan mengatasnamakan kebijakan yang tidak bijak. Sangat terkesan bahwa kebijakan itu dipaksakan sehingga merugikan banyak pihak. Kebetulan saya sering diajak berdiskusi dengan rekan-rekan yang menjadi pejabat penting. Pada kesempatan itu, saya selalu memberikan wawasan agar lembaga memusatkan perhatian kepada renstra lembaga. Jika lembaga sudah berkemampuan memusatkan perhatian pembangunan dan pelaksanaan program, dengan sendirinya lembaga itu akan dikenal dan terkenal. Iklan terbaik kita adalah karya kita. Negara kita sudah terkenal sebagai saarang koruptor. Tidakkah kita berkeinginan untuk mencegahnya? Jika Anda tertarik untuk mencegah korupsi, sebaiknya Anda mengikuti jejakku. Apa itu? Tolaklah pemberian yang bukan menjadi hakmu! Semoga korupsi segera enyah dari negeriku. Teriring salam, Johan Wahyudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H