Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ujian Itu Mendewasakan

28 Januari 2012   01:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13277156841898628853

[caption id="attachment_166784" align="aligncenter" width="600" caption="Bencana alam adalah ujian kekuatan keimanan."][/caption]

Proses untuk menuju terbaik tidaklah mudah. Semua akan melalui ujian. Kita akan diuji dengan beragam cara, jenis, dan suasana. Sikap kita menerima ujian itu tentu berbeda-beda. Ada yang menerima setiap ujian dengan rasa syukur. Namun, tidak sedikit juga yang menyerah alias putus asa.

Ujian yang kita alami ada dua jenis: ujian kesedihan dan ujian kesenangan. Ujian kesedihan sering disebut musibah. Itulah pengertian yang salah. Musibah itu malapetaka yang ditimpakan Tuhan kepada manusia durhaka. Namun, ujian atau cobaan justru dijadikan Tuhan untuk mengukur ketauhidan, keimanan, dan kesabaran. Sikap kita menerima ujian kesedihan sangat menentukan kepribadian dan jiwa kita.

Secara umum, manusia sering mampu menerima ujian kesedihan. Ini dapat dilihat dari sikapnya yang spontan berucap: innalillah, astaghfirullah, atau masya Allah. Manusia memang menyadari bahwa Allah mampu menghendaki semua yang dikehendaki-Nya. Artinya, manusia itu hanya dapat bersikap menerima. Ketika manusia sudah berpikiran positif bahwa ujian akan digunakan Tuhan untuk mengujinya, manusia akan menerima keadaan dengan sikap legawa atau ikhlas. Tuhan pasti menghendaki yang terbaik bagi hamba-Nya. Tuhan tidak pernah menghendaki hamba-Nya agar celaka. Manusialah yang sering mencelakakan dirinya.Karena itu, manusia mampu menerima ujian kesedihan dengan sabar.

Namun, manusia justru sering tidak mampu menjaga keimanan ketika diuji kenyamanan. Manusia sering bersikap sombong. Mereka - manusia - beranggapan bahwa sukses ini adalah karya pribadinya. Tidak ada campur tangan Tuhan, katanya. Lalu, mereka pun berfoya-foya meluapkan kegembiraan itu. Beragam cara digunakan. Bahkan, kegembiraan itu sering dilakukan dengan melanggar hukum (agama dan sosial).

Keadaan akan berubah 180 derajat ketika kesempatan yang diberikan itu usai. Karena kenyamanan yang diberikan itu disia-siakan, Tuhan mencabut kenikmatan itu. Maka, muncullah musibah. Dalam sekejab, semua usaha yang pernah dirintis dapat berbalik. Tuhan sangat mudah membalik semua keadaan. Tuhan sangat berkuasa karena memang Maha Perkasa. Ketika itu sudah terjadi, penyesalan tiada guna. Penyesalan memang datang di akhir kejadian. Sebelum penyesalan itu datang, marilah kita bangun kesadaran bahwa ujian itu berguna untuk mendewasakan pola pikir kita. Marilah kita renungkan kesedihan dan kenyamanan yang kita peroleh hari ini. Mampukah kita mengubah ujian ini menjadi hikmah pribadi kita? Di mata Tuhan, semoga kita diberi nilai yang baik. Amin

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun