Dari dapur, ibuku terlihat senyum-senyum melihatku yang sedang makan. Saya memang jarang makan di rumah ibu karena sungkan kepada istri. Kadang saya makan di tempat ibu secara sembunyi-sembunyi. Jelas saya takut istriku marah karena saya lebih suka makan di rumah ibu daripada di rumah. Melihatku makan dengan lahap, ibu menghampiriku.
"Kok mangan koyo wong keluwen?" ucap ibuku (Kok makan mirip orang kelaparan).
"Luwe, Mbah" jawabku singkat sambil terus menikmati makanan (Lapar, Nek).
"Lha opo gak dimasakke karo Dwi" tanya ibuku kemudian (Lha apa tidak dimasakkan Dwi, istriku).
"Dimasakke, Mbah. Nanging rasane gak karuan" jawabku sambil terus mengunyah. (Dimasakkan, Nek. Namun, rasanya tidak karuan).
Tiba-tiba, sebuah jeweran mendarat di telingaku. Ibuku langsung menatapku dan terlihat marah. Tentu saja saya kaget karena saya tidak mengira akan mendapatkan "hadiah" itu. Saya pun terdiam beberapa saat. Lalu, ibuku pun duduk di sampingku.
"Akeh-akehe wong lanang ki isone mung maido. Wis dimasakke ananging isone nyacat masakane wong wedok. Gari mangan wae ngomong sing ora bener" tutur ibu di dekatku (Kebanyakan laki-laki bisanya hanya mencela. Sudah dimasakkan tetapi bisanya hanya mencacat kekurangan istri. Tinggal makan saja berbicara tak karuan).
Entah hasrat itu datangnya darimana, tiba-tiba saya ingin cepat pulang. Saya ingin segera makan masakan istriku. Puluhan tahun kami menikah dan ribuan kali kami makan serumah. Mengapa saya lebih suka menikmati masakan orang lain daripada masakan istri sendiri? Tentunya saya perlu meminta maaf kepada istriku. Terima kasih Ibu yang telah menyadarkanku. Masakan ibu tetaplah lezat tetapi masakan istriku jelas lebih lezat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H