Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haruskah PNS (Khususnya Guru) Mengenakan Seragam?

13 Desember 2011   00:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:25 5382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_155730" align="aligncenter" width="640" caption="Seharusnya PNS mengenakan seragam hanya pada hari-hari tertentu, seperti HUT RI."][/caption]

Pegawai Negeri Sipil (PNS) teramat berbeda dengan pegawai militer, seperti polisi dan tentara. Pegawai militer memang perlu mengenakan seragam karena seragam menjadi salah satu lambang kepangkatan. Maka, terlihatlah di pundak, dada, dan topi beberapa atribut sebagai penanda kepangkatannya. Dengan melihat atribut itu, kita langsung dapat mengindentifikasi pegawai militer itu lengkap dengan pangkat dan kesatuannya.

Namun, PNS bukanlah pegawai militer. PNS adalah pegawai sipil. Ia bekerja untuk melayani masyarakat luas tanpa pembedaan kelas sosial, agama, dan juga sukunya. Pegawai sipil semestinya dapat mencerminkan kesipilannya melalui atribut yang dikenakannya. Dan itu teramat penting untuk diperhatikan karena PNS sudah mulai meniru budaya militer untuk masalah seragam. Dan itu teramat berbahaya jika dikenakan oleh seorang guru. Mengapa?

Guru selalu berhadapan dengan murid sejak PAUD/ TK, SD, SMP, SMA/ SMK. Guru berhadapan dengan anak-anak yang belum dapat memahami makna di balik seragam. Untuk anak sekolah memang perlu diseragamkan karena tiga alasan. Pertama, agar tidak terjadi kastanisasi kelas sosial. Jika setiap siswa bebas mengenakan baju, tentunya itu dapat berakibat buruk. Siswa yang berasal dari keluarga miskin tentu merasa malu karena bajunya tidak berganti-ganti seperti teman-teman lainnya.

Kedua, seragam dapat digunakan sebagai media untuk membangun budaya disiplin. Dengan pengenaan seragam, tentunya sekolah dapat memantau kedisiplinan anak. Pada akhirnya, mental disiplin anak pun terbentuk. Ketiga, siswa mudah bersosialisasi sesama siswa karena kemudahan mengenal identitasnya. Setiap seragam tentu dilengkapi dengan atribut sebagai identitas instansi. Inilah pentingnya seragam bagi anak.

Namun, menurutku, seragam tidak perlu dikenakan guru. Banyak kekurangan yang menyebabkan ketidakefektivan jika guru mengenakan seragam. Saya mencatat lima kekurangan jika guru diminta untuk menggunakan seragam. Pertama, guru adalah pegawai sipil. Seharusnya guru menjadi cermin sebagai orang sipil. Dengan berpakaian bebas nan sopan, guru dapat berinteraksi semua kalangan tanpa dibatasi “pembatas” yang bernama seragam.

Kedua, seragam membuat jarak antara guru dan siswa. Pada intinya, pembelajaran paling efektif adalah kegiatan interaksi guru dengan siswa. Pembelajaran akan terlaksana efektif jika guru dan siswa tidak berjarak. Namun, siswa sering malu atau sungkan jika berhubungan dengan guru. Mengapa? Karena gurunya mengenakan seragam bak militer.

Ketiga, guru adalah bagian dari masyarakat. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru profesional adalah kompetensi sosial. Itu berarti bahwa guru mesti menjadi figur di tengah masyarakat. Figur itu tampak dari tampilan kesederhanaan, kesahajaan, keramahan, pelayanan, kerendahhatian, dan kedermawanannya. Itu akan sulit dicapai jika guru mengenakan seragam. Masyarakat sering menempatkan guru sebagai orang kelas atas alias golongan priyayi. Jelas konsep pegawai sipil terhapus!

Keempat, seragam mengesankan keangkuhan. Seorang guru mesti mengenakan seragam dengan beragam atribut. Silakan diperhatikan seragam guru dan atributnya: baju keki (PDH) atau PSH, tergantung sebuah lencana papan nama dari pemerintah daerah/ kota, lambang KORPRI, dan papan nama yang terbuat dari mika atau logam. Jelas semua atribut itu terkesan “mengangkuhkan” diri sebagai PNS.

Kelima, guru sering bertingkah bak jagoan karena suka memerintah siswanya dengan beragam sebutan yang tak pantas. Karena mengenakan seragam, para siswa terkesan ketakutan jika membantah perintah guru. Daripada mendapat hukuman, lebih baik para siswa menuruti perintah sang guru meskipun hatinya dongkol. Jelas seragam menjadi identitas yang mengesankan arogan.

----

Kemarin dan hari ini, harian lokal Solo memberitakan informasi tentang keharusan pembelian seragam batik di kalangan pendidik dan tenaga pendidikan. Banyak kalangan mencium aroma kolusi dan atau korupsi tentang pembelian seragam bagi pendidik dan tenaga pendidikan itu. Terlebih, pakaian itu harus dipesan kepada pihak tertentu dan tidak dijual bebas sehingga pembeli dapat mencari toko yang menjual seragam dengan harga yang lebih miring.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang-bincang dengan mantan kepala sekolah. Beliau bercerita bahwa pembelian seragam memang teramat menguntungkan bagi kepala sekolah dan atau pengambil kebijakan. Konon, menurutnya, penjual akan memberikan potongan harga alias diskon hingga 30%. Maka, tak mengherankan jika sekolah sering kedatangan tamu-tamu menjelang tahun ajaran baru. Tidak hanya menawarkan diskon seragam tetapi juga lainnya. Apa itu?  “Silakan pilih mobil atau kotor yang Bapak sukai. Pembayaran dapat diatur” ucap temanku menirukan sales itu. Alamaaakkkk……!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun