[caption id="attachment_134405" align="aligncenter" width="640" caption="Mari kita mengenalkan dunia usaha kepada anak sejak dini."][/caption]
Semua orang tentunya pernah memiliki masa cita-cita. Kita menyebutnya masa depan. Sejak kecil, kita sering ditimang-timang orang tua agar menjadi “orang besar” setelah berusia dewasa. Tentunya harapan itu menjadi pelecut sehingga anak termotivasi agar kehendak itu dapat tercapai. Segala usaha pun dilakukan demi mencapai tujuan tersebut.
Namun, usaha meraih cita-cita tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak kendala atau hambatan akan menghadangnya. Semakin tinggi pohon semakin kuat pula angin menerpanya. Sedemikian halnya dengan cita-cita, semakin tinggi cita-cita tentu akan semakin sulit pula meraihnya. Maka, kadang cita-cita itu gagal atau tidak tercapai.
Agar tidak berputus asa, kita perlu membuat strategi pencapaian masa depan. Jika cita-cita tidak teraih, hendaknya kita sudah menyiapkan bentuk masa depan lain kepada anak. Dari sekian banyak cara, mengenalkan dunia usaha dapat digunakan orang tua. Mengapa demikian? Karena dunia usaha dapat dipelajari menjadi sebuah kebiasaan sejak kecil. Dan itu lebih mudah dilakukan. Belajar pada masa kecil ibarat belajar mengukir di atas batu. Belajar pada masa tua seperti belajar mengukir di atas air.
----
Sekitar tahun 1980an, orang tuaku memelihara sapi dan ayam kampung. Ayah memelihara tiga ekor sapi, sedangkan ibuku beternak ayam kampung yang mencapai ratusan ekor. Ayam-ayam itu dibiarkan mencari makan sendiri. Agar produktivitasnya meningkat, setiap pagi dan sore, ayam-ayam itu diberi makanan bekatul. Dan pemberian makanan itu menjadi tugasku setiap hari.
Setelah bangun tidur, saya wajib memberikan makanan itu kepada ayam-ayam ibuku. Tempat makanan ayam terbuat dari batok kelapa. Saya menyediakan sekitar lima kilo bekatul setiap paginya. Tentunya bekatul itu diencerkan dengan sedikit air agar mengental. Usai itu, ayam-ayam dibiarkan mencari makanan tambahan secara liar.
Sore harinya pun demikian. Saya wajib memberikan makanan kepada ayam-ayam yang sama. Lagi-lagi saya mesti mengencerkan bekatul itu. Maka, ayam-ayam itu begitu hafal dengan tuannya. Begitu saya keluar membawa ember yang berisi makanan, ayam-ayam itu langsung mengerubutiku. Dan sebatok demi sebatok, saya menuangkan makanan itu. sontak ratusan ayam kampung itu menyerbu.
Ternak ayam kampung memang sangat menguntungkan pemiliknya. Setiap pasaran pahing dan wage, ibuku selalu menjual telur-telur ayam itu ke pasar. Kadang ibuku pun menjual beberapa ekor ayam yang lebih tua. Sebutir telor ayam kampung dihargai Rp 100 pada waktu itu. Untuk ayam, seekor dihargai sekitar Rp 3.000. Saya masih mengingat harga itu dengan baik karena sering diajak ke pasar sambil berangkat ke sekolah. Lalu, saya mendapat upah sekitar Rp 50.
Berkat ternak ayam kampung itu, orang tuaku dapat menyekolahkan kelima anaknya. Ayahku yang menjadi PNS Guru SD dapat terbantu. Ibuku mengurusi kebutuhan dapur, sedangkan ayahku membiayai sekolahku dan keempat kakakku. Sungguh orang tuaku teramat baik karena mampu menyekolahkah kelima anaknya hingga tuntas. Semua berasal dari kerja sama yang baik: ayah menjadi petani dan guru, sedangkan ibuku menjadi peternak ayam kampung.
----
Tiga hari lalu, saya meminta tiga orang pekerja untuk membuat kandang ayam kampung. Kemarin, kandang ayam kampung itu telah terselesaikan dengan baik. Di bagian belakang rumah, saya memang masih memiliki lahan sekitar 100 meter. Kandang ayam kampung itu berbentuk rumah panggung berukuran 2,5 meter x 5 meter. Kandang terbuat dari kayu dengan atap dari genteng bekas di atas pondasi gantung. Mengapa saya membuat kandang ayam?
Beberapa waktu sebelumnya, anak-anakku gemar bermain ke rumah neneknya. Ketiga anakku sering memberikan makanan kepada ayam-ayam neneknya. Ketiga anakku sangat senang dan kerasan tinggal di sana. Terlebih, sesekali nenek merebuskan beberapa telor ayam kampung. Bahkan, kadang nenek membuat soto daging ayam kampung. Dan itu sering digunakan sebagai alasan bagi anak sulungku untuk tidur di rumah nenek.
Suatu ketika, anakku berujar, “Pak, bikinkan kandang ayam, dong.”
Saya kaget. Mengapa tiba-tiba ananda ingin dibuatkan kandang ayam? Ternyata, ananda terkesan dengan ayam milik nenek. Maka, saya pun berjanji untuk membuatkan kandang ayam itu. dan kemarin, kandang itu akhirnya terwujud. Ketika kandang itu selesai, saya termenung sendirian. Sambil duduk di kandang, saya berpikir, “Ternyata anakku memiliki watak persis ayahnya. Mereka tidak malu untuk bekerja meskipun usianya adalah usia untuk bermain.”
Menurutku, kita memang perlu memberikan bekal keterampilan lain kepada anak. Saat ini, mungkin kita menjadi orang tua yang kaya atau sukses. Namun, sukses orang tua belum tentu diikuti sukses anak. Meskipun anak kita sudah berpendidikan tinggi dan pintar, itu tidak dapat digunakan sebagai jaminan bahwa mereka akan memiliki masa depan yang baik. Agar mereka memiliki kesiapan untuk meraih cita-citanya, sebaiknya mereka dibekali keterampilan hidup. Kenalkanlah dunia usaha kepada anak sejak dini. Mari….!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H