Sebagai guru, saya mendapat ide dari pertanyaan anak.
Ada pesan di inbox saya: “Pak, gimana mencari inspirasi? Tulisan-tulisan Bapak kok bisa berisi inspirasi baru. Gimana caranya? Tolong saya dibantu. Makasih”. Pertanyaan pendek tetapi jawabannya bias panjang sekali. Tidak bermaksud menggurui atau menganggap lebih tahu. Saya hanya berusaha menjawab berdasarkan pengalaman.
Sebagai pengajar, saya mendapat ide dari mahasiswa.
Saya ini seorang guru, pengajar, penulis, motivator, dan juga warga kampung saya. Ketika memosisikan diri sebagai guru, saya mempunyai sumber informasi minimal sekitar 480 ide. Dari mana itu? Dari anak didik saya. Mereka berjumlah sekian itu. Jika itu ditambahkan rekan guru dan staf TU, semua berjumlah lebih dari 500 ide.
Jika saya memosisikan diri sebagai pengajar, saya mempunyai 300an ide baru. Dari mana itu? Mahasiswa yang menjadi bimbingan saya. Jika ditambahkan rekan dosen dan staf TU lainnya, semua berjumlah sekitar 350 ide.
Jika memosisikan diri sebagai penulis buku, saya mempunyai sekitar 2300 ide baru. Dari mana itu? Ide itu bersumber dari buku-buku koleksi saya. Jika itu ditambahkan dengan rekan-rekan di kantor penerbit, ide dapat berkembang menjadi sekitar 2400 ide.
Sebagai motivator, saya mendapat ide dari pertanyaan peserta.
Jika memosisikan diri sebagai motivator, saya mempunyai sekitar 500 ide baru. Dari mana datangnya? Dari peserta yang mengikuti kegiatan saya. Rerata kegiatan saya dihadiri peserta sebanyak itu dan bisa berkembang jika ditambah oleh jumlah panitia dan tamu lainnya. Jadi, saya mempunyai ide-ide baru yang teramat banyak dan semakin bertambah banyak.
Sebagai warga kampung, saya mendapat ide dari tamu yang berkunjung.
Jika memosisikan diri sebagai warga kampung, saya mempunyai sekitar 1000an ide baru. Dari mana datangnya? Dari jumlah warga di kampong saya: Rejosari Sragen. Warga kampong saya berjumlah sekitar itu.
Kita perlu ingat bahwa setiap pribadi pasti mempunyai keunikan. Nah, keunikan itu adalah sumber ide bagi kita. Pandai-pandainya kita menyikapi keunikan itu. Ketika melihat anak didik sedang mengantuk di kelas, saya menulis tulisan Mengapa Anak Itu Mengantuk? Ketika melihat mahasiswa mengikuti perkuliahan, saya menulis Tua-Tua Keladi. Ketika menulis naskah buku, saya menulis Tips Mudah Menulis Buku. Ketika menjadi penceramah, saya menulis tulisan Bagaimana Menulis Artikel Yang Baik. Ketika memosisikan diri sebagai warga kampong, saya menulis tulisan Tolong Bantu Saya. Dan seterusnya….!
Dan inilah 18 karya dari sekitar 60an karya terbaik saya.
Jadi, setiap kondisi dan peristiwa di sekeliling kita, itulah sumber ide kita. Sumber ide tidak selalu berasal dari buku atau membaca tulisan. Sumber ide itu berasal dari detak jantung kita ketika dihenyakkan oleh sebuah kesan berkesan. Kunci dari kesemuanya itu adalah kepekaan hati dan pikiran.
Agar mudah menerima atau mendapatkan ide baru, hati dan pikiran kita harus peka. Kita harus bersikap sensitif. Kita harus menjauhi keinginan untuk sombong atau sok tahu. Menulis ya menulis. Biarlah pembaca yang menilai kualitas tulisan kita. Kita tidak perlu memvonis sebuah tulisan itu baik dan buruk. Baik dan buruk itu bersifat relatif. Baik bagi saya belum tentu baik bagi Anda. Buruk bagi Anda belum tentu buruk bagi saya. Yang pasti, tulisan itu merupakan karya terbaik bagi penulisnya. Jadi, sebaiknya kita jangan mengukur kualitas tulisan teman berdasarkan tulisan kita.
Ketika sudah mampu bersikap demikian, kita akan menemukan dan mendapatkan kepuasan tak terkira. Kepuasan tak terukur oleh jumlah materi. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya. Nah, seberapa banyak Anda telah memberi manfaat kepada pembaca kompasiana? Selamat pagi dan selamat beraktivitas. Semoga kesuksesan menyertai hari-hari Anda. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H