Hari ini, insan pendidikan Indonesia merayakan hari besarnya. Meskipun hari libur, beberapa daerah tetap mengadakan upacara untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional 2010. Inilah wujud nasionalisme sejati = selalu mengingat jasa pendidik terdahulu.
Meskipun masih ditemukan beberapa kekurangan dan kelemahan, kita harus mengakui secara jujur bahwa kualitas pendidikan Indonesia berangsur membaik. Sebagai sebuah proses, kita harus mendukung upaya pemerintah untuk meratakan kualitas pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu infrastruktur, suprastruktur, dan tenaga kependidikan.
Kemajuan kualitas infrastruktur dapat dilihat dari berubahnya bangunan sekolah. Digulirkannya program DAK (Dana Alokasi Khusus) telah mengubah sekolah secara lahiriah. Memang ada beberapa sekolah di daerah yang belum terjamah.
Kemajuan kualitas suprastruktur dapat dilihat dari ketersediaan buku. Digulirkannya BSE (Buku Sekolah Elektronik) adalah salah satu contohnya. Memang diakui bahwa kualitas BSE masih belum memuaskan. Banyak komplain dari pengguna karena ketidakaplikativan buku tersebut.
Kemajuan kualitas tenaga kependidikan dapat dilihat dari dilaksanakannya sertifikasi guru. Para guru berlomba mengikuti kegiatan ilmiah. Mereka berlomba dengan berkorban uang demi selembar sertifikat. Terlepas dari niat mendapatkan sertifikat seminar, semangat itu perlu kita apresiasi.
Namun, ada bagian lain yang belum terjamah pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidik, yaitu mengubah mind set (pola pikir) guru. Selama ini, guru di Indonesia masih menjadi pembaca dan pengguna buku. Sebagai pengguna, seharusnya guru juga menjadi penulisnya. Banyak keuntungan yang akan diperoleh sebagai penulis buku.
Selama ini, guru-guru kita menjadi guru diktator, yaitu guru yang menjual diktat untuk membeli motor. Menjelang terselesaikannya tahun ajaran dan memulai tahun ajaran, guru-guru menambah profesi tambahan untuk mendapat penghasilan tambahan. Siswa tidak boleh mengambil rapot sebelum melunasi buku. Atau, siswa diwajibkan membeli buku setelah diterima di sekolahnya. Secara harfiah, itu dibolehkan selagi tidak dipaksakan. Tetapi, alangkah baiknya jika buku-buku itu juga hasil tulisan guru. Selain royalti yang akan didapat guru bertambah, siswa pun akan merasakan kebanggaan karena buku yang digunakan adalah buku ciptaan guru idolanya. Wouw, luar biasa !
Suatu hari, saya ditemui oleh seorang pengurus koperasi sekolah. Saya ditanya, ”Pak, LKS bahasa Indonesia koq masih utuh. Apakah anak-anak tidak menggunakannya?” Atas pertanyaan itu, saya pun menjawabnya, ”Wah, saya tidak tahu, Pak. Saya memang tidak mewajibkan anak untuk membeli LKS. Yang saya wajibkan adalah anak-anak harus menguasai materi bahasa Indonesia dengan baik.” Mungkin belum puas dengan jawaban itu, saya ditanya lagi, ”Maaf lho, Pak. Uang jatah Bapak nanti sedikit.” Di situlah saya menghela nafas dalam-dalam seraya berujar, ”Pak, saya ini penulis buku, bukan penjual buku!” Majulah pendidikan Indonesia! (www.gurumenulisbuku.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H