Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mengasingkan Bahasa Indonesia

2 November 2014   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:51 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 28 Oktober 1928 silam, Indonesia mengalami perubahan pergerakan kemerdekaan yang sangat signifikan. Pergerakan itu merupakan akumulasi dari semangat nasonalisme para pemuda. Dalam sebuah konggres kepemudaan itu, tercetuslah Sumpah Pemuda yang berisi tiga buah pengakuan, yaitu mengakui berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Berdasarkan sejarah itulah, bulan Oktober sering diidentikkan sebagai Bulan Bahasa. Mengapa tidak mengambil istilah bulan berbangsa atau bertanah air? Tentu semua memiliki alasan yang sangat kuat.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia dalam banyak aspek, seperti pulau, luas wilayah, keragaman suku bangsa, budaya, bahasa, kekayaan alam dan lain-lain. Kondisi itu tentu menjadi sangat sulit diatasi jika bangsa Indonesia tidak memiliki alat komunikasi yang bisa dipahami masyarakat di banyak tempat. bangsa Indonesia jelas memerlukan bahasa nasional yang bisa memersatukan segala lapisan masyarakat agar komunikasi bisa berjalan lancar. Maka, sangat wajar jika bulan Oktober dijadikan sebagai Bulan Bahasa karena bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda.
Selain perasaan bangga karena bertepatan dengan Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia perlu merasa bangga juga karena memiliki bahasa yang identik dengan nama negaranya, yaitu Indonesia. Hanya ada beberapa negara di dunia yang memiliki bahasa identik dengan nama negaranya, seperti bahasa Jepang, Korea, China, dan Indonesia. Dibandingkan dengan bahasa negara-negara lain, bahasa Indonesia bisa berkembang dengan baik karena sifatnya yang akomodatif dengan bahasa asing. Kondisi itu tak bisa dilepaskan pula dari posisi negara Indonesia yang terletak di persimpangan perdagangan dunia.
Namun, akhir-akhir ini, perkembangan bahasa Indonesia tidaklah menggembirakan. Lambat tetapi pasti, bahasa Indonesia mulai dirusak dan diasingkan di negaranya sendiri. Ada beberapa anggapan yang salah sehingga bahasa Indonesia tidak lagi dipilih sebagai alat komunikasi utama di sekolah unggulan, dunia bisnis, dan media. Di sekolah-sekolah favorit atau unggulan, bahasa Indonesia tak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar utama untuk kegiatan pembelajaran. Demi menjaga gengsi, sekolah-sekolah unggulan tersebut mengidentikkan dirinya dengan menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Di dunia bisnis, banyak produk menggunakan bahasa asing untuk pelabelan produknya. Iklan pun sering menggunakan bahasa asing karena bahasa Indonesia dianggap nilai jualnya rendah. Kita mudah menjumpai situasi itu di iklan-iklan televisi dan iklan luar ruang atau reklame. Semua produk dinamai dengan kosakata keinggris-inggrisan.
Pemakaian bahasa asing makin menjadi-jadi ketika banyak media sering menggunakan kosakata asing tanpa menjelaskan maknanya. Kosakata asing itu kadang tidak memiliki pertautan konteks dengan isi informasi. Jelas kondisi ini makin meracuni masyarakat dengan kosakata asing yang kian tak terkendali sedangkan media seharusnya turut menjaga kualitas pemakiaian bahasa Indonesia.
Kondisi di atas bisa terjadi mungkin disebabkan ketidaktahuan bahwa bahasa Indonesia memiliki dua fungsi atau kedudukan, yaitu menjadi bahasa nasional dan sebagai bahasa resmi. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, serta menjadi alat perhubungan antarbudaya antardaerah. Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa resmi untuk perhubungan tingkat nasional, serta bahasa resmi untuk pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Membendung Keterasingan
Adanya upaya mengasingkan bahasa Indonesia itu, pemerintah berusaha mencegahnya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menetapkan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang setara dengan TOEFL sebagai syarat dasar melamar pekerjaan. Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Kemendikbud, Dra. Yeyen Maryani, M.Hum, menyatakan bahwa UKBI akan dijadikan standar rekrutmen kerja dan syarat mutlak bagi orang asing yang ingin bekerja di Indonesia.
Penetapan UKBI ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Dengan memberlakukan UKBI itu, mau tak mau, para pencari kerja harus mempelajari bahasa Indonesia agar lulus tes seleksi kerja. Bahasa Indonesia tak lagi diremehkan. Selain penetapan UKBI, Kemendikbud juga akan memberikan penghargaan Adibahasa kepada instansi dan perusahaan yang peduli terhadap pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik terbuka. Salah satu indikator penilaiannya adalah konsistensi pemakaian bahasa Indonesia pada papan informasi atau penunjuk arah.
Untuk tahun 2014, penghargaan Adibahasa diberikan kepada waralaba Carrefour dan perusahaan pengelola Bandar Udara Angkasa Pura. Kedua perusahaan tersebut dinilai aktif mempromosikan bahasa Indonesia di lingkungan kerjanya. Keduanya jarang menggunakan bahasa asing di papan penandanya dan memilih bahasa Indonesia. Penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi perusahaan lain agar menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik dan menghindari pemakaian bahasa asing.
Kita perlu mengapreasi upaya pemerintah itu sehingga bahasa Indonesia tidak makin terasing di negaranya. Agar upaya itu bisa mencapai sasaran secara efektif, kita perlu memberikan dukungan. Salah satu dukungan yang bisa diberikan adalah membangun budaya berbahasa Indonesia untuk segala keperluan dan berusaha untuk meminimalisasi penggunaan bahasa asing. Bahasa Indonesia sangat kaya dengan kosakata sehingga tidak ada alasan lagi untuk memilih bahasa asing. Jika terpaksa menggunakan bahasa asing, kita pun harus menaati aturan seraya menuliskannya berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (PUEYD). Dengan memiliki kesadaran itu, kita tentu memiliki rasa bangga ketika berbahasa Indonesia dimana pun berada.

Catatan: Artikel ini telah dimuat Koran Solopos, Sabtu, 1 November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun