Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Urgensi Pendidikan Seks Usia Dini

4 Januari 2015   23:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:49 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14203636301854914763

[caption id="attachment_388484" align="aligncenter" width="384" caption="Biasakan anak diberi hadiah buku daripada gadget (foto: pribadi)"][/caption]

Banyak sekali peristiwa amoral yang melibatkan pelajar, seperti tindakan pencabulan, pemerkosaan, dan seks bebas. Kasus demi kasus seakan terus terjadi seiring majunya zaman. Kalangan pendidik, orang tua, dan pejabat pendidikan dibuat ketar-ketir dengan kasus tersebut.Oleh karena itu, diperlukan beragam upaya agar kasus tersebut dapat diminimalisasi. Upaya preventif harus dilakukan segera dengan melibatkan semua lapisan masyarakat. Tak boleh tugas ini hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi orang tua, masyarakat, dan pemerintah harus turut andil aktif melakukannya.

Keberhasilan pendidikan itu menjadi tanggung jawab tripartit, yaitu pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sarana-prasarana pendidikan yang layak. Orang tua bertanggung jawab atas perilaku anak-anaknya di luar sekolah. Masyarakat bertanggung jawab atas pengawasan kebijakan pemerintah dan sikap orang tua. Jika ketiga pihak ini sudah menunaikan tanggung jawabnya, sebenarnya perilaku amoral di atas dapat dicegah.

Namun, pemerintah sering bersikap abai ketika mendapat laporan tentang perilaku amoral yang dilakukan pelajar. Pemerintah sering berusaha menutup-nutupi kasus itu seraya menggunakan argumen agar peristiwa itu tak digeneralisasi. Agaknya pemerintah ketakutan berhadapan dengan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memang sering membela para pelaku tindak amoral itu. Argumen yang sering digunakan oleh LSM adalah kebebasan atau demokrasi, pelaku masih di bawah umur, dan hak pendidikan setiap warga negara. Nyali pemerintah pun langsung menciut seraya menarik diri dari kewenangannya sebagai penyusun regulator pendidikan. Maka, tak ayal kasus demi kasus perilaku amoral makin masif terjadi.

Orang tua pun sering mengabaikan sikap dan perilaku anak-anaknya. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa pendidikan adalah tugas pemerintah dan sekolah. Orang tua justru membatasi perannya seraya berpijak kepada kewajiban pemenuhan biaya sekolah. Karena sudah merasa membayar biaya sekolah, orang tua lepas tangan dan menyerahkan 100% pendidikan anak-anak kepada sekolah. Pemikiran orang tua yang demikian perlu diluruskan. Keberadaan anak-anak di sekolah hanya berkisar 5-7 jam per harinya. Jika sehari ada 24 jam, itu berarti bahwa orang tua memiliki tanggung jawab 17-19 jam saat anak-anaknya tak lagi berada di sekolah.

Partisipasi masyarakat pun perlu diaktifkan. Pendidikan akan terlaksana dengan baik manakala masyarakat turut andil seraya memedulikan setiap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Jika mendapati anak-anak sekolah yang berperilaku mencurigakan, masyarakat harus berani melakukan tindakan. Masyarakat bisa melaporkan kejadian itu kepada pihak sekolah atau aparat. Selama ini, masyarakat terkesan membiarkan beragam perilaku menyimpang yang dilakukan para pelajar, seperti membolos, merokok, tawuran, bermain game dan lain-lain.

Urgensi Pendidikan Seks

Beragam sikap negatif yang ditunjukkan ketiga pihak di atas berbuah pahit. Para pelajar memanfaatkan kelengahan seraya menurutkan kebebasan. Maka, di sinilah urgensi pendidikan seks itu diberikan. Para pelajar perlu diberikan pengertian yang benar tentang seks. Tentu pendidikan seks ini diberikan dengan memerhatikan etika berdasarkan tingkat kematangan jiwa remaja sehingga tak terkesan mendikte, melarang, dan sekaligus mencemooh. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk memberikan pendidikan seks, yaitu integralisasi pendidikan seks ke semua mata pelajaran, pembangunan suasana sekolah, dan pembentukan komunikasi dengan orang tua.

Sebenarnya semua mata pelajaran berpotensi untuk digunakan sebagai media penyampaian pendidikan seks. Selama ini, seks sering dianggap sebagai bagian dari pelajaran tertentu, seperti biologi, olahraga, dan agama. Akibatnya, guru pelajaran lain menyingkir dan merasa tak berwewenang memberikan pendidikan seks. Semua guru bisa memberikan pendidikan seks yang benar berdasarkan bahan ajarnya. Di sela-sela penyampaian materi pelajaran sehari-hari, tentu terdapat celah-celah yang dapat dimanfaatkan guru untuk memberikan penjelasan tentang seks. Setidak-tidaknya, guru dapat memberikan wawasan tentang bahaya perilaku seks sebelum waktunya.

Suasana sekolah harus dibangun dan diciptakan layaknya rumah sendiri. Pembangunan suasana ini dapat dimulai dengan menciptakan hubungan guru dengan siswa agar memiliki hubungan yang harmonis. Guru harus bersedia menjadi orang tua “pengganti” sehingga terbentuk sikap melayani dengan tulus. Selain itu, sekolah harus berusaha menyediakan ruang kreativitas yang cukup agar para siswa dapat menyalurkan bakatnya. Sekolah pun harus memberlakukan peraturan yang ketat tentang penggunaan gadget ke sekolah. Ruang komputer harus disusun secara terbuka. Gadget siswa harus dititipkan ke sekolah selama mengikuti pelajaran. Secara berkala, sekolah mengadakan razia konten gadget.

Orang tua pun harus menyadari bahwa pendidikan anak-anaknya menjadi tanggung jawabnya dan tidak boleh melempar tanggung jawab itu kepada sekolah. Jika orang tua dipanggil sekolah, mereka harus memenuhi panggilan itu agar masalah anaknya segera teratasi. Selama ini, orang tua enggan memenuhi panggilan pihak sekolah jika anak-anaknya terindikasi melakukan tindakan menyimpang. Orang tua baru memenuhi panggilan sekolah jika perilaku anak-anaknya akan dikenai sanksi. Orang tua justru sering menyalahkan pihak sekolah karena dianggap lalai memberikan pembinaan sedangkan sekolah sudah berusaha maksimal agar kasus anaknya itu terselesaikan. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, perilaku seks bebas sering menjadi kasus yang dominan.

Kita tak boleh menyalahkan kemajuan zaman karena zaman memang harus berubah. Seiring dengan perubahan zaman itu, manusia pun harus mengubah mind set-nya. Teringat dengan nasihat bijak, kejahatan itu dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor niat dan kesempatan. Faktor niat menjadi faktor sangat berbahaya karena kesempatan itu dapat diciptakan. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan niatan para pelajar itu agar kembali ke jalan yang lurus. Mereka perlu diberikan pendidikan seks yang benar agar memiliki pengetahuan seks yang benar. Jangan sampai mereka mencari jawaban atas beragam pertanyaan tentang seks itu kepada guru yang tak benar. Dan kita adalah guru-guru mereka: bagaimana sikap kita maka bagaimana pula perilaku mereka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun