Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengatasi Siswa Nakal

15 Februari 2015   02:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:10 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, banyak media memberitakan peristiwa memilukan yang terjadi di dunia pendidikan. Ada guru menghukum siswanya dengan hukuman fisik yang dinilai terlalu berat. Akibatnya fatal. Siswa mengalami trauma secara psikologis. Ada siswa yang terluka hingga terjadi infeksi akibat hukuman. Bahkan, ada beberapa siswa meninggal meskipun beberapa pihak membantah keterkaitan hukuman itu dengan hilangnya nyawa.

Atas beragam peristiwa itu, kita harus prihatin. Semua pihak harus introspeksi agar peristiwa itu tak terulang lagi. Senakal-nakalnya anak sekolah pasti masih bisa dibenahi tanpa perlu diberikan hukuman fisik yang berlebihan. Jika terpaksa hukuman fisik diberikan, sebaiknya guru mengukur akibatnya. Jangan sampai hukuman itu tidak memberikan efek jera, tetapi justru makin membuat siswa itu makin nakal.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Berdasarkan kutipan itu diketahui bahwa kebanyakan guru masih meletakkan fungsinya sebagai pengajar dan belum menjadi pendidik profesional. Salah satu ciri pendidik profesional adalah mendidik siswa dengan sikap sabar dan arif ketika menghadapi siswa-siswa bermasalah atau nakal.

Ada tiga langkah yang bisa dilakukan guru atau sekolah untuk mengatasi siswa nakal. Pertama, rangkullah siswa nakal itu. Kebanyakan guru justru enggan berdampingan, berdekatan, dan mendengarkan beragam masalah mereka. Kebanyakan guru justru lebih suka menghabiskan waktunya di ruang kelas dan ruang guru. Sangat jarang guru berkenan mendekati para siswanya. Maka, alangkah baiknya guru “turun gunung” seraya merangkul siswa-siswa bermasalah itu. Temui mereka di kantin sekolah, tempat parker, atau lapangan olahraga. Jangan panggil siswa-siswa bermasalah itu ke ruang guru karena justru situasi akan makin menekan psikologis siswa.

Kedua, lakukan home visit atau kunjungan ke rumah. Sebaiknya guru meluangkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke rumah siswa. Dengan kunjungan itu, guru akan mengetahui penyebab kenakalannya. Banyak siswa nakal karena orang tuanya tidak ada di rumah, uang sakunya berlebihan, dan salah pergaulan. Dengan bertemu orang tuanya, guru dapat bercerita tentang kelakuan si anak kepada orang tuanya. Komunikasi guru dengan orang tua itu merupakan awal jalinan menuju tujuan yang sama.

Ketiga, berikanlah kepercayaan. Anak nakal karena mereka kelebihan energy, uang saku, dan kreativitas. Oleh karena itu, guru perlu memberikan ruang lebih luas agar mereka bias leluasa menyalurkan “kenakalannya” ke jalur yang benar. Banyak siswa merasa ditelantarkan guru dan orang tua sehingga mereka melampiaskan kekesalannya itu pada jalan yang salah. Dengan diberi kepercayaan, justru siswa nakal itu akan belajar bertanggung jawab. Jika siswa nakal itu sukses memikul tanggung jawab kepercayaan itu, guru tak perlu ragu untuk memberikan penghargaan kepadanya. Di sinilah akan terjadi turning point atau titik balik. Siswa nakal akan berubah menjadi siswa yang lebih mudah diatur.

Catatan:

Artikel di atas telah dimuat Koran Solopos, Sabtu, 14 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun