Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Sektor ini mendapatkan tantangan berat yaitu kecenderungan beralihnya profesi petani ke sektor jasa dan industri kecil, pemilikan lahan individu yang semakin mengecil, pembangunan pemukiman dengan munculnya perumahan-perumahan yang mengorbankan lahan pertanian, generasi muda milenial yang tidak tertarik jadi petani, harg-harga produk pertanian yang tidak stabil, posisi petani yang lemah dan selalu menjadi bulan-bulanan para pedagang dan pemilik modal dan pada umumnya kegairahan penduduk dalam bertani semakin menurun.
Kondisi yang memprihatinkan nasib petani di Indonesia adalah tingkat penghasilannya yang kurang menguntungkan. Banyak petani kecewa berusaha tani karena hasil produknya tidak sesuai dengan harapan.Â
Petani kelapa dan cengkeh senantiasa gigit jari. Harga komoditi kedua produk ini sangatlah memprihatinkan. Seringkali terlihat petani kelapa membiarkan kelapa nya tidak di panen karena biaya pengolahan yang tinggi sedangkan harga kopra yang rendah ini. Begitu pun dengan komoditi cengkeh, hampir sama dengan kelapa.Â
Fenomena yang terjadi, dengan makin maraknya tawaran kemudahan kredit mobil dan motor serta perumahan maka petani cenderung terjebak ikut serta menerima tawaran tersebut.
Untuk memenuhi tuntutan angsuran yang wajib harus di bayarkan sering petani terjebak pada rentenir karena kondisi harga jual produk pertaniannya tidak mencukupi.
Inilah yang terjadi pada petani di pedesaan. Harga produk hasil panen tidak stabil dan kebutuhan keluarga untuk pendidikan anak-anak dan mengangsur kredit jadi persoalan yang dihadapi petani.
Itu sekilas gambaran petani kita yang sejatinya mesti menjadi perhatian pemerintah, akademisi dan pihak swasta yang peduli.
Realitas yang ada dimana negara kita menjadi lahan subur bagi pasar produk impor berupa mobil, motor dan telepon genggam dan barang-barang elektronik lainnya. Harga-harga produk impor ini jelas tidak sebanding dengan harga-harga jual komoditi pertanian.
Apa solusi terhadap persoalan ini?
Pertanyaan yang selalu mengganjal dalam pemikiran penulis, mengapa negara kita yang justru menjadi sumber penghasil bahan baku industri mobil maupun telepon genggam tidak berupaya melatih individu mampu mendesain sendiri cikal bakal mendirikan pabrik mobil, motor atau telepon genggam di negeri ini? Kita memiliki sdm kepakaran ilmu teknik di Bandung dan Surabaya yang saya percaya mampu menciptakan desain dan menjadi partner pemerintah cikal bakal pendirian pabrik di negeri ini.Â