Manado, 4 Juni 2019.
Salam sejahtera,
Assalamualaikum Wr Wb
Sang Pengembara...yang dirundung duka nestapa,
Sesaat ketika bunga Flamboyan mu gugur ke bumi, aku sempat melihat ekspresi kesedihan mu, kau di penuhi linangan air mata, matamu sembab dan terpancar sinar kesedihan yang sangat dalam..
Kau tak mempedulikan sekitar mu, kau tidak sanggup menahan emosi mu ketika para sahabat, handai-taulan mengunjungi mu menyatakan rasa peduli akan kejadian yang menimpah mu itu, di tinggalkan Sang Flamboyan, pendamping hidup yang setia, seseorang yang paling kau kasihi dan sayangi..
Menangis adalah manusiawi dan itu yang kau ekspresi kan dari lubuk hati yang ter dalam di wajahmu dan gerak gerik mu. Aku merasakan dan sangat merasakan gejolak hati mu saat itu, karena aku pun pernah merasakannya sekitar tiga tahun silam di tinggalkan pendamping hidup istri tercinta.Â
Jadi, saya anjurkan menangislah dan menangislah hingga air mata mu kering. Disaat seperti itu, kau akan lebih menyadari bahwa hidup kita memang punya keterbatasan dan ada kuasa yang lebih dasyat dalam hidup ini yaitu kuasa Allah SWT.
Wahai Pengembara yang romantis, aku tau persis pasti kau ingat puisi yang pernah kau tulis buat sang Flamboyan di tahun 1975 lalu. Aku cuplikan se bait puisi "jika bunga mu jatuh berguguran dalam semerbak wangi sinar pesona, kau ucapkan selamat datang pada pengembara ber pedati tua yang tak henti berucap bahagia", di awal pusimu kau tulis "kembang merah di ujung kota" dan "flamboyan, kau lah yang kurindukan". Semua itu pasti kau ingat dan tetap membekas sebagai nostalgia indah masa teruna, wahai pengembara.
Kau pasti ingat foto jadul ini..