Mohon tunggu...
Johanis Malingkas
Johanis Malingkas Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Menulis dengan optimis

Selanjutnya

Tutup

Money

Strategi Negara Menanggulangi Jebakan dan Virus "Hutang Luar Negeri"

2 Juli 2015   16:41 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 3953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 ilustrasi (sumber:kompas.com)

Adalah menarik menyimak tulisan Indria dibawah topik "Indonesia,  Selangkah Menuju Negara Bangkrut?" dalam Kompasiana edisi 2 Juli 2015. Dikatakan menarik karena dalam artikel ini mengangkat deretan nama-nama negara di dunia yang terancam bangkrut. Indonesia termasuk dalam deretan negara itu sehingga negara kita berada dalam zona merah karena total hutang selama ini semenjak kemerdekaan hingga kini memiliki total hutang luar negeri sekitar Rp. 3.000 trilyun. Bahkan dikatakan pula Presiden Jokowi sampai tidak bisa tidur nyenyak akibat memikirkan persoalan ini serta adanya analisis perombakan kabinet kerja di bidang ekonomi telah di rumuskan akan segera di laksanakan.

Saya melihat topik artikel ini berupa pertanyaan dan itu memang menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia. Saya pikir masih begitu banyak masyarakat kita yang belum begitu paham dengan jelas tentang persoalan hutang luar negeri ini. Apa itu hutang luar negeri, bagaimana awalnya terjadi sehingga pemerintah memutuskan kebijakan ekonomi dengan melaksanakan hutang luar negeri? Bagaimana dampak dari hutang luar negeri saat ini terhadap situasi dan perkembangan pembangunan ekonomi dan fiskal di Indonesia?

Mungkin disinilah para pakar ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi fiskal(moneter) dan ekonomi pembangunan dapat berperan memberikan penjelasan kepada publik atau masyarakat khususnya menyangkut hutang luar negeri ini.

Sekedar informasi tentang ini mungkin dapat disimak ulasan Rayla Prajnariswari B K  dalam tulisannya berjudul:"Jebakan Utang Luar Negeri(Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia) di post 7 Mei 2014:

"Utang luar negeri (ULN) atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Refleksi dari kisah sukses Marshall Plan pada tahun 1940, sukses secara empiris  itu menjadi dasar bahwa pemindahan sumber daya dapat pula dilakukan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang yang biasanya mengalami kekurangan modal untuk menggerakan mesin ekonominya (Rachbini, 1991:62). Dalam proses pembangunan ekonomi, hampir disemua negara berkembang mengalami persoalan dalam pembiayaan dan kemudian membutuhkan investasi dalam bentuk modal kapital dan modal manusia dalam jumlah yang tidak sedikit. Saat kondisi seperti inilah negara harus menempuh beberapa strategi untuk menutup anggaran. Jika dalam penghasilan  negeri sudah tidak cukup untuk membiayai kekurangan tersebut, maka negara melirik sumber lain sebagai alternatifnya. Keterbatasan kapasitas fiskal yang dihadapi suatu negara menyebabkan negara tersebut membutuhkan bantuan dari negara lain, yakni berupa bantuan pinjaman atau Utang Luar Negeri (ULN) (Yustika 2009:130). ULN merupakan instrumen sementara bagi negara berkembang untuk memulai pembangunan disini. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan utang luar negeri tidak hanya diartikan dalam ruang ekonomi saja, tetapi sudah mulai merambat ke dalam ruang politik. Kebijakan utang luar negeri dijadikan  sebagai salah satu bargain power yang dimiliki oleh negara-negara kreditur (pada umumnya negara-negara maju) untuk melakukan ekspansi politik luar negeri berdasarkan self-interest-nya masing-masing terhadap negara-negara peminjam (biasanya negara-negara berkembang seperti indonesia).

Dampak ekonomi Utang luar negeri sendiri sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, karena dengan adanya utang pasti secara otomatis akan ketergantungan. Karena setiap negara yang utang ke luar negeri pastinya bertujuan untuk memperbaiki kondisi, pembangunan, dan pertumbuhan perekonomian agar semakin membaik. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan perekonomian di Indonesia statis dan utang pun semakin menumpuk. Dari kebijakan indonesia untuk ULN inilah yang meskipun memiliki dampak positif namun juga menimbulkan dampak negatif yang diasumsikan penulis sebagai “Jebakan” untuk negara berkembang seperti di Indonesia".

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya. Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar. Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto. Sehingga terus berlanjut dalam periode kepemimpinan SBY. Menurut Seknas Fitra Uchok Sky Khadafi, hutang luar negeri Indonesia pada tahun 2010 atau era Presiden SBY sebesar Rp 1.677 triliun. Pada tahun anggaran 2011 utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.803 triliun dan pada tahun 2012 utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.937 triliun. Deskripsi ULN tersebut merupakan Sumber ULN dari hubungan bilateral.

Untuk bangkit dari dampak ULN tersebut penulis juga menjabarkan solusi agar negara berkembang seperti indonesia dapat bangkit kembali dan keluar dari jebakan tersebut. Di bidang ekonomi,Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan SDA yang melimpah ruah,akan tetapi Indonesia masih saja kekurangan dalam hal apapun,sehingga masih banyak rakyat miskin di negara ini.Angka kemiskinan tiap tahun ke tahun mengalami kenaikan, hal ini dikarenakan harga bahan pokok yang kian meroket tanpa disertai kenaikan pemasukan masyarakat.Utang luar negeri Indonesia pun mencapai sekian ribu triliun sungguh angka yang fantastis. Oleh karena itu, jika ingin bangkit dari ketergantungan dari negara asing harus ada perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :

Pertama, Seperti yang diamanatkan Soekarno yaitu “BERDIKARI” (berdiri dikaki Sendiri) dan menolak bentuk pinjaman luar negeri. Mungkin hal ini yang paling sulit karena akan menyebabkan krisis dan kemelaratan yang panjang. Namun jika pemerintah indonesia berani menolak pinjaman luar negeri dan terus mengkampanyekn kemandirian ekonomi sehingga rakyat akan tergugah dan terus berpacu untuk mengembangkan ekonomi mandiri, sehingga kita tidak perlu bergantung lagi dari pinjaman uang luar negeri karena siklus perputaran ekonomi lokal yang lancar.

Kedua, Reformasi agraria. Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agrarian. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agrarian adalah tanah terlantar. Dengan reformasi agraria indonesia dapat meningkatkan hasil petani-petani lokal agar meningkatkan daya beli lokal masyarakat, yakni melalui pemberdayaan ekonomi pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya. Dengan peningkatan daya beli masyarakat ini membuat barang-barang hasil buatan dalam negeri terjual habis tentu akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apalagi yang terjual dan laku terbeli itu yaitu produk hasil ekonomi pedesaaan ataupun dari petani dan usaha kecil, tentu akan membuat perkembangan yang signifikan bagi kemajuan usaha pedesaan dan usaha kecil sehingga mampu bersaing perusahaan besar milik swasta. Keuntungan lain dari peningkatan daya beli masyarakat yaitu perputaran uang akan lebih banyak terdapat di dalam negeri sehingga uang ini akan menambah pendapatan negara dengan pajak. Kemudian mengkampanyekan kebanggaan akan produksi dalam negeri, meningkatkan kemauan dan kemampuan ekspor produk unggulan dan membina jiwa kewirausahaan masyarakat. Hal yang memprihatinkan dengan televisi atau surat kabar di negeri ini yakni banyaknya iklan swasta produk luar negeri berkembang di dalam negeri, sadar atau tidak iklan-iklan ini mempengaruhi pergaulan masyarakat di negeri ini, Para remaja lebih suka makanan produk luar negeri daripada produk-produk dalam negeri, sehingga hasil jual lebih banyak keluar daripada ke dalam negeri.Padahal dari segi kandungan zat makanan tradisional inilah lebih banyak di banding produk luar negeri. Negeri ini kaya akan Sumber daya alam unggulan sehingga bila kita manfaatkan secara maksimal maka akan memberikan devisa negara, akhir-akhir ini negeri kita mampu dengan “swasembada pangan” mengapa kita tidak swasembada kehutanan, pertambangan atau seterusnya. Permasalahan yang ada adalah terkendala dana dan teknologi peralatan, sebenarnya ini dapat disiasati dengan memanfaatkan dana terbatas dan peralatan kurang itu untuk mendukung produksi hasil pada potensi yang sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun