Setiap sen pencabutan subsidi diartikan oleh masyarakat awam sebagai kenaikan harga, padahal bukan begitu karena pengertian yang demikian akan mengacaukan pola ekonomi kita.
Dahulu sebelum thn 2004 BBM masih hasil dari perut bumi Indonesia sehinga komponen biayanya hanya >>A+B+C tetapi setelah thn 2004 Indonesia menjadi negara “Net Importer Oil” jadi sebagian dari minyak impor sudah berharga sesuai harga pasar dunia>>A+B+C+D.
SUBSIDI sebenarnya salah kaprah karena tadinya yang disubsidi itu adalah minyak tanah.
Pemerintah sewaktu produksi minyak mentah kita sangat besar membujuk rakyat agar beralih dari memasak dengan kayu bakar menjadi memasak dengan minyak tanah karena mencegah penggundulan hutan yang berujung pada terjadinya erosi dan banjir.
Sewaktu itu produksi minyak masih di nominasi oleh pihak asing (BPM,Shell, dll) sehingga mereka tetap menjual dengan harga pasar, tapi pemerintah untuk meringankan pemakain minyak tanah menyuruh mereka menjual minyak dibawah harga pasar dan selisihnya dipotong dari jatahnya pemerintah, selisih itulah yang disebut SUBSIDI.
Dengan majunya teknologi mesin penggerak yang tidak memakai pematik (busi) telah dapat menggunakan minyak tanah (kerosin) yang cukup ditambah pelumas maka menjadi minyak “diesel fuel”.
Mesin diesel semakin banyak kemudian menggunakan minyak tanah yang disubsidi Pemerintah untuk masak, membuat Pertamina kewalahan memenuhi kebutuhannya sehingga harus impor minyak tanah dari Persian gulf.
Kesimpulan:
SUBSIDI sebenarnya sudah tamat riwayatnya ketika masak memasak beralih dari minyak tanah ke Elpiji. Premium kok disubsidi?? Kan tidak sama ceritanya dengan minyak tanah yang dipakai untuk kompor masak memasak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H