Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berkebun Selepas Pensiun, Sebuah Angan-angan

8 Agustus 2023   17:50 Diperbarui: 8 Agustus 2023   18:49 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen pribadi

Jam 9 pagi aku sudah menunggu 100 meter dari gerbang tol Cikamuning di warung kopi pinggir jalan raya Bandung-Purwakarta. Hujan ringan sedari pagi belum berhenti. Khawatir sales itu tidak jadi datang menemuiku karena alasan hujan, aku coba mengontaknya by WA.

"Gimana Kang, jadi tidak ketemuan di lokasi kebun?"
"Jadi Pak, ini dah otw."
"Tapi hujan?"
"Gpp, btr lagi reda."
"Siyap."

Hujan reda, sales itu pun datang. Ia memberi kode dengan tangannya, maksudnya agar aku mengikuti dia. Aku pun segera menghidupkan mesin mobil lalu membuntuti dia dari belakang.

Tidak berapa lama meluncur di Jalan Raya Bandung-Purwakarta, sepeda motor yang ditunggangi Sukandi -sales, membelok ke kanan ke jalan desa. Jalan kecil tetapi beraspal mulus, naik turun berkelok-kelok. Laju kendaraanku melambat sehingga sering tertinggal sepeda motor pemandu. Beberapa kali sepeda motor itu seperti hilang dari pandangan ditelan tikungan. Beruntung ia selalu berhenti dan menungguku dibalik tikungan saat di kaca spion kendaraannya tidak tampak mobilku. Ketika mulai terlihat ia akan mengibaskan tangan tanda untuk terus melaju.

Sudah hampir satu jam meliuk-liuk di jalanan yang kanan dan kirinya terhampar kebun sayur belum ada tanda-tanda perjalanan akan berakhir di tujuan. Rupanya jarak tempuh 30 menit dari pintul tol keluar seperti yang tercantum dalam iklan tersebut, hanya mungkin bila ditempuh dengan sepeda motor. Kendaraan melaju lebih ke lereng, kebun sayuran ditinggalkan berganti dengan kebun teh diselang-selingi pemukiman penduduk dan beberapa vila yang dibangun di ketinggian.

Beberapa saat setelah mendaki jalan kembali menurun, lalu membelok. Di balik tikungan Sukandi berhenti. Ia tidak menunjukkan isyarat agar melanjutkan perjalanan. Tanganya menunjuk lereng di sebelah kiri dari sepeda motor yang diparkirnya. Aku menurunkan laju kendaraan lalu berhenti.

"Lho, ini kebun teh?"
"Ya Pak, kebun teh rakyat."

Lalu ia menjelaskan kalau lahan kebun itu sudah tidak produktif. Luasnya 14.300 meter, boleh dibeli sebagian minimal 1000 meter. Aku menarik napas. Bayangan tentang kebun alpukat yang terhampar sirna.

"Mari lihat lokasi yang lain, Pak."
"Ada lagi?"
"Ada empat lokasi di sini, Pak."

Rupanya lokasi kavling kebun alpukat ini tidak dalam satu hamparan. Tetapi, merupakan lahan-lahan masyarakat yang berminat dijual dan dihimpun oleh pemilik modal. Boleh jadi, kepada pemilik lahan pembayaran dilakukan setelah lahan terjual. Makelar.

Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengikuti. Di lahan yang kedua, hamparan yang lebih luas. Beberapa kavling sudah terjual. Di kebun yang sudah terjual beberapa pohon alpukat tumbuh tak terawat. Dari setiap pembelian kavling kebun memang dijanjikan bonus gratis 10 bibit alpukat. Mungkin itu yang ditanam asal-asalan, layaknya jin buang anak. Selanjutnya ditinggalkan, dibiarkan merana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun