Semangkuk pindang srani sudah tersaji. Wangi daun kemangi menguar ke arah hidungku dari uap di mangkuk di depanku, membuat penasaran.
Kuamati dengan cermat semangkuk ikan berkuah itu. Kuahnya agak bening, ini sop ikan pikirku. Di bagian atas kuah ikan itu tampak irisan tomat, potongan belimbing keris dan beberapa cabe rawit mengambang.
Aku mengambil sendok bebek yang tersedia untuk menyendok kuah di mangkuk itu. Lalu menyesapnya pelan, mengicip-icip. Rasanya sedikit asam, manis dan gurih. Aku menyendok lagi kuahnya mengicipnya dengan menggigit sepotong kecil cabe rawit. Wuiss, sensasinya mulai timbul, mirip tom yam. Sop ikan ini berasa sekali rempahnya. Pagi itu aku merasa sudah masuk ke warung makan yang benar.
Berbeda dengan gulai limbat di mana ikan limbat sebagai aktor utama, pindang srani tidak identik dengan satu jenis ikan. Pindang srani bisa dengan berbagai jenis ikan berbeda-beda. Bisa menggunakan ikan kakap putih, krapu, ikan sirip kuning, atau bahkan bandeng. Aku lebih memilih yang pakai ikan kakap putih, tidak banyak duri, teksturnya kenyal dan tidak terlalu lembek.
Konon, awalnya -sebelum dihidangkan secara luas di rumah-rumah makan pindang srani merupakan bekal nelayan selama melaut. Boleh jadi surat-surat RA. Kartini kepada kawan Belandanya yang amat puitis itu sedikit banyak dipengaruhi makanan yang dikondumsinya. Sop ikan berempah macam tom yam, pindang srani pikurku bisa merangsang orang untuk menulis sastra.
Aku mulai berpikir untuk melepaskan pelan-pelan goreng ayam dan rendang sapi yang memicu sembelit dan membiarkan gulai limbat tenang di tempat yang jauh, di Tapanuli Selatan. Di kantor kukabarkan kepada kawan-kawan tentang pertemuanku yang lalu jatuh hati pada sop ikan berempah rasa tom yam yahut pindang srani itu. Tepuk tangah bergemuruh.
"Itu belum seberapa, Pak Jo. Ada lagi yang lebih sensasional."
Kami pun serombongan berangkat dengan Kijang kapsul, berdelapan penuh sesak. Tanpa banyak menginjak rem mobil sudah berparkir di depan warung makan. Menu masakan serba ikan.
Yang disajikan di meja di hadapanku siang itu gulai kepala ikan manyung. Perlu mangkuk lebih besar untuk menampung satu kepala ikan itu. Pun, untuk mengisahkan sensasinya, perlu waktu lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H