Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Apa Selepas Pensiun?

28 Juni 2023   08:32 Diperbarui: 28 Juni 2023   11:29 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi pribadi

Sesi ini di sore hari diakhiri dengan menghembuskan napas panjang. Spirit membuncah, rasanya esok ingin segera pensiun.

Pada hari kedua ruangan kelas tiba-tiba menghangat. Pembicara mengawali ice breaking dengan memandu peserta meneriakan yel-yel. Adrenalin mengalir deras. Ya, pelatihan hari ini bertajuk wirausaha, manis.

Slide pertama menampilkan data hasil survey. Lebih 50 persen pesanggon yang diterima pekerja yang pensiun habis ditahun ke-2, sisanya lumat tak mencapai tahun ke-5. Tahun ke-6 dan selanjutnya 70 persen pensiunan bergantung hidupnya pada anak, menantu, saudara, pihak lain dan negara. Mental langsung lunglai, sisa adrenalin yang melimpah pasca ice breaking tiba-tiba sirna.

Jalan keluarnya pensiunan tak boleh berpangku tangan atau hanya rebahan, harus menjadi pengusaha agar tidak menjadi beban orang lain. Tidak harus besar, paling tidak hasilnya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi, mana bisa di usia senja pada saat menyerahkan tongkat estapet kepada yang masih muda malah dianjurkan mendirikan usaha baru?

Jangan khawatir, Kolonel Sanders sukses membangun usaha ayam goreng KFC saat usianya 67 tahun. Lalu pembicara menampilkan slide tentang deretan manula yang tetap energik dan sukses di usian senja dari dalam dan luar negeri. Semangat naik lagi di leval 52. 

Slide berikutnya menampilkan data statistik bahwa 2 dari 10 usaha baru yang didirikan runtuh di tahun pertama. Dan, hanya satu dari yang berhasil bisa bertahan lebih dari lima tahun. Emhmh... boleh jadi 5,5 tahun terkulai juga. Jarum level semangat mendekati nol.

Sampai menjelang matahari terbenam kelas diisi dengan teori-teori bagaimana bisnis bisa bertahan dan berkembang. Saat slide menampilkan solusi level semangat naik, adrenalin meningkat. Saat ditampilkan data-data realitas pesimistis semangat anjlok. Begitu silih berganti. Sesi berakhir karena senja telah tiba dan kepala mulai migrain.

Pelatihan dua hari yang padat merayap  tak layak sebagai persiapan pensiun yang ideal. Dua topik dari dua kutub yang kontroversial hanya menghasilkan migrain yang masih tersisa saat bangun pagi di hari ketiga.

Bagaimana tidak? Saat kondisi fisik yang sudah menurun yang menuntut slow motion dihadapkan pada kenyataan buruknya kondisi financial saat pensiun. Setelah pensiun hidup tidak berhenti dan untuk melanjutkan butuh uang. Betul, uang bukan segalanya tetapi segalanya membutuhkan uang.

Mana yang harus dipilih antara hidup santai apa adanya atau banting tulang merintis usaha baru. Keduanya sangat berisiko. Membangun usaha baru dengan santai tentu tidak akan maksimal hasilnya. Bekerja keras dalam persaingan bisnis pemula dalam kondisi energi yang nyaris habis, tentu akan fatal akibatnya.

Idealnya saat aktif bekerja aktif juga berinvestasi sehingga saat pensiun tinggal menikmati pasif income. Penghasilan yang didapat sebagian direinvestasikan apakah dengan menyimpan dalam deposito, membeli saham/obligasi, asuransi atau membeli properti. Tetapi apa lacur, penghasilan kelas menengah hanya sedikit lebih tinggi dari umr. Sekadar bisa memenuhi kebutuhan fisik minimum. Kalau pun memaksakan berinvestasi lebih memilih menyekolahkan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun