Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghitung Jejak Guru yang Masih Melekat

5 Oktober 2022   14:17 Diperbarui: 5 Oktober 2022   17:53 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah dan Ibuku saat mau berangkat ke tanah suci 2015 (sumber: dokumen pribadi)

Hari ini 5 Oktober adalah Hari Guru Sedunia yang diperingati sejak 1994. Ada baiknya refresh sejenak untuk mengenang peran guru yang tak lekang dimakan waktu. 

Saat mengikuti sehari bersama anak sekolah, program yang digagas Pemkab Bulukumba, Sulsel Tahun 2017 (Sumber: dokumen pribadi)
Saat mengikuti sehari bersama anak sekolah, program yang digagas Pemkab Bulukumba, Sulsel Tahun 2017 (Sumber: dokumen pribadi)

Sosok guru yang pertama kukenal adalah ibu dan ayahku, mereka berdua adalah guru lulusan SGB --pendidikan guru setingkat SMP tahun 60-an. Oh betapa belianya bilio ketika kali pertama menjadi guru, usia belasan.

Ayah, bagiku adalah guru serba bisa karena selain mengajar sehari-hari juga menjadi petani dan seniman tradisional. Sebagai petani pernah mendapat penghargaan di tingkat daerah bahkan di level nasional. 

Lagi mudanya ayah adalah pengurus himpunan perternak domba (HPDI). Ayahlah yang pertama merintis peternakan ayam negeri --ayam ras sekarang, di kampung dengan kandang sistem batere yang terbuat dari bambu. 

Sedangkan dalam bidang kesenian Ayah adalah penabuh kendang dalam pertunjukan wayang golek, penari dan pemain sandiwara. Juga terampil dalam membuat anyaman, dan ukiran. Sebagai guru Bahasa Indonesia, ayah telah memberiku karunia sebagai penyuka sastra sejak kanak-kanak.

Ayah dan Ibuku saat mau berangkat ke tanah suci 2015 (sumber: dokumen pribadi)
Ayah dan Ibuku saat mau berangkat ke tanah suci 2015 (sumber: dokumen pribadi)

Sementara Emak -ibuku juga guru yang hebat karena kemampuannya melahirkan bayi tak kurang dari 9 kali, mulai dari kakak, aku, dan seluruh adik-adik nyaris tanpa bantuan medis yang memadai. 

Di sela-sela kesibukan sebagai guru, Emak telah merawat kami yang lahir beruntun pada periode 1962 sampai 1975. Kami semua lahir pada era sebelum dan sesudah pemberontakan G 30 S/PKI yang terkenal itu. 

Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu Ema membesarkan kami dengan penuh telaten dalam haru biru. Tapi tetap asik. Hebatnya di usianya yang sudah sepuh, 82 tahun saat ini Ema tetap merawat kami, merawat dengan doa.

Sosok guru yang lain di luar Emak dan Ayah, adalah Abas --guru matematika sewaktu SMP. Beliau bak guru yang jatuh dari langit yang berasa paling mencerahkan sepanjang zaman. 

Abas adalah sosok guru sederhana dan penyabar. Saking sabarnya, suatu saat ketika ada pertunjukkan sulap di halaman sekolah menjelang pembagian rapor akhir tahun ajaran, beliau membiarkan sepeda motornya dipinjam untuk atraksi akrobat. 

Ketika sepeda motor Honda biji nangka warna biru miliknya digerung-gerung dan dikendarai dengan lagak melonjak-lonjak di halaman berpasir bercampur kerikil, beliau hanya meringis-ringis.

Abas adalah guru matematika. Ini pertama kali aku mengenal matematika sejak sebelumnya hanya belajar berhitung di sekolah dasar. Ketika itu tahun 1976, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarief Thayeb mewajibkan bidang studi matematika mulai diajarkan sejak kelas satu SMP. 

Abas, mengajarkannya dengan sangat memesona. Aku ingat, pelajaran matematika ketika pertama masuk SMP adalah tentang himpunan. Aku mulai mengenal simbol-simbol matematika berupa himpunan, irisan dan gabungan, sebelumnya hanya mengenal tambah, kurang bagi dan kali. 

Dan Abas, mengajari kami dengan alat peraga dan kapur yang berwarna-warni dengan pola belajar interaktif. Bukan dengan ceramah yang membuat kantuk. 

Tidak jarang kami murid-murid dijadikan alat peraga. Untuk membentuk lingkaran sebagai batas himpunan misalnya, kami sebagian diminta duduk melingkar di lantai, sisanya berfungsi sebagai anggota himpunan yang mengisi lingkaran. 

Belajar seperti itu membuat waktu bermain kami berasa tak tersita karena belajar sambil bermain. Kami tak hanya belajar, bahkan menjadi bagian dari pelajaran itu.

Tentang pelajaran himpunan itu sampai saat ini telah menginspirasi dalam menjalani kehidupan nyata. Dalam sehari-hari, suka tidak suka kita adalah anggota dari himpunan. Dengan merasa selalu menjadi bagian dari segala jenis himpunan membuat aku menjadi tak ada, yang ada hanya kita. 

Aktivitas kita tak lepas dari anggota, irisan dan gabungan dari himpunan-himpunan yang ada. Akibat interaksi dengan sesama anggota himpunan itulah, hari ini kita ada.

#Hari_Guru_Sedunia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun