Tahun 1999, dua tahun setelah krisis moneter perekonomian masih belum pulih. Selama dua tahun itu beberapa kali aku ditugaskan ke kota Medan untuk pelatihan atau evaluasi. Yang aku lihat, dampak resesi ekonomi di kota besar seperti Medan tidaklah seburam yang dibayangkan. Siang hari kota itu begitu sibuk, malam pun tetap ramai. Toko-toko ramai menjajakan barang dagangan, hanya saja aku tak sanggup membelinya. Sementara di Padangsidempuan, siang maupun malam, buram. Dunia seakan mengkerut.
Istri dan anak-anakku tidak pernah ke luar kota, aku khawatir mereka terkungkung dalam kegelapan. Tidak menyadari bahwa di sebelah sana matahari bukan saja bersinar terang tetapi sekaligus mencerahkan dan menginspirasi. Dunia tak sebatas buah salak, limbat, pakat (pucuk rotan) dan holat (bumbu kuah ikan jurung bakar) dan sungai-sungai yang selama ini mereka tahu. Aku ingin mengajak mereka berlibur barang dua tiga hari di Medan. Aku pun segera mencari tahu kepada istriku apakah ada menyimpan tabungan sisa makan sehari-hari.
Rupanya dalam kondisi penghasilan pas-pasan istriku masih bisa menyisihkan sedikit uang untuk berjaga-jaga. Aku pun segera mengajukan cuti. Selanjutnya kepada kawan yang bertugas di Medan aku meminta info mengenai hotel kecil yang murah yang tak jauh dari kota.
Selepas magrib kami berempat sudah duduk-duduk di kursi panjang dari kayu di pol bus ALS di Jalan Imam Bonjol, Padangmatinggi. Bus dari jawa diperkirakan akan tiba di Padangsidempuan pukul 19.30 untuk selanjutnya menuju Medan.
Di atas becak motor yang membawa kami ke pol bus ini anak laki-lakiku yang baru berumur satu tahun tampak gembira sekali. Kakinya melonjak-lonjak dipangkuan ibunya hingga kepalanya nyaris menyentuh plafon becak. Ia tidak mengerti kalau malam itu akan mengalami perjalan jauh. Paling tidak 9 jam perjalanan menembus malam dengan bus.
Sementara itu, yang besar -putriku, yang duduk dipangkuanku berdesakan dengan kopor kecil, kantung keresek berisi susu formula dan makanan kecil serta termos air panas dan satu sumpit buah salak. Ia berbisik kepada ibunya menanyakan apakah di Medan itu ada yang berjualan pinsil warna. Ia berumur 4 tahun, belum masul TK, tetapi sudah pintar naik sepeda roda tiga dan rajin menggambar. Sesekali suka kubawakan kertas hvs bekas konsep surat yang sebelahnya masih polos. Tetapi putriku lebih suka menggambar di dinding tembok kamar tidur atau di ruang tamu.
"Tentu Nak!" jawab istriku, "Nanti kita beli satu pak dengan banyak warna!"
Putriku bertepuk tangan dengan senangnya. Tubuhnya bergoyang-goyang mengikuti gerakan kedua tangan mungilnya itu yang saling memukul. Tak terdengar dengan jelas suara tepuk tangannya kalah sama bunyi becak motor yang memekakan telinga. Becak motor yang menggunakan sepeda motor tua keluaran tahun 70-an itu meluncur kencang dari Jalan Merdeka ke Jalan Imam Bonjol yang menurun dengan suara khasnya.
Teng, terenteng-teng-teng! Teng, terenteng-ten-teng!
Aku membayangkan mereka -anak-anakku, akan lebih bergembira lagi sesampainya di Medan besok pagi. Mereka akan naik komidi putar, mobil-mobilan listrik, menaiki eskalator di mal dan berenang di kolam renang khusus untuk anak-anak -sesuatu yang tak pernah dialami sebelumnya.
Setelah menunggu hampir satu jam bus yang ditunggu-tunggu masuk ke halaman pol. Beberapa penumpang turun, sopir dan awak bus juga turun melapor ke petugas pol. Â Calon penumpang tujuan Medan dipersilakan naik ke atas bus. Kami pun berebut pintu yang terbuka baik dari depan maupun belakang bus. Beruntung kami dapat tempat duduk di tengah menggantikan penumpang dari jawa yang baru saja turun.