Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amplop Berwarna Coklat Panjang Berjendela

17 Februari 2020   10:22 Diperbarui: 24 Februari 2020   07:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Senin, 11 September 1995 hari pertama berkantor di Solo. Pagi-pagi aku sudah bangun, dibangunkan suara bayi kecilku yang sudah mengoceh sendiri. Ta-ta, ta-ta-ta, katanya. Sementara kaki dan tangannya menghentak-hentak ke atas. Begitu juga saat istriku menggendongnya di halaman rumah besar, di depan gerbang keluar, di pinggir jalan raya ketika aku menunggu bus bertingkat Damri, bayi kecilku mengoceh lagi.

"Ta-ta, ta-ta-ta."

Aku turun di depan kantor pos, lalu naik ke jembatan penyeberangan selanjutnya berjalan kaki sampai ke ujung jalan. Kantor BRI Cabang Solo berada di depan kantor wali kota, tak jauh dari Pasar Gede. Gedung dua lantai di pinggir kali, di ujung Jalan Sudirman.

Aku duduk di sofa menghadap pintu ruangan kepala cabang di lantai dua. Tidak jauh dari sofa tempat aku duduk adalah ujung tangga yang menghubungkan lantai 1 dengan lantai 2. Dengan posisi duduk seperti itu maka setiap orang yang naik ke lantai 2 aku bisa pantau setiap saat.

Pertama-tama akan tampak kepala manusia. Aku bisa prediksikan dengan tepat siapa yang datang. Bila rambut yang tampak kelihatan panjang, aku pastikan ia perempuan, bila rambut pendek, kemudian muncul telinga tidak beranting atau tanpa giwang, tidak akan keliru pasti laki-laki. Bila berambut hitam, mestinya masih muda, separuh hitam separuh berubah ia setengah tua. Bila berambut putih, dua minggu lagi akan memasuki masa pensiun.

Hari pertama melaksanakan on the job training -ojt, di kantor cabang, pertama-tama aku harus menemui kepala cabang. Aku harus berkenalan, meminta ijin, menyerahkan modul pembelajaran untuk kemudian meminta petunjuk dan arahan bagaimana melaksanakan ojt yang baik dan benar.

Agar semua petunjuk dan arahan tidak mudah hilang dari ingatan aku menyiapkan buka notes kecil dan bolpoint untuk mencatat. Tidak lupa di saku celana aku simpan kalkulator kecil yang biasa digunakan tukang beras di Pasar Patrol, barangkali diminta untuk menghitung.

Aku sudah pernah bertemu kepala cabang sebelumnya. Saat berdinas paling tidak sudah dua kali. Pertama saat pertama kali di terima di Kanca BRI Indramayu. Kedua di Patrol, saat menyampaikan informasi seleksi program CS. Aku hapal dengan gayanya berjalan, berpakaian, menyisir rambut serta gayanya kalau berbicara. Kriterianya pasti.

Sebelumnya aku sudah mengetahui informasi bahwa kepala cabang adalah seorang pria. Aku pun tak begitu pedulikan setiap pegawai perempuan yang muncul di ujung tangga. Untuk pegawai laki-laki yang tak memenuhi kriteria aku hanya mengangguk sambil sedikit menyunggingkan bibir ketika mereka naik ke lantai dua dan berjalan melewati sederet sofa di mana aku duduk. Tak terhitung sudah berapa kali aku mengangguk dan tersenyum, sampai leherku terasa kaku dan bibirku kering.

Tiba-tiba muncul di ujung tangga itu sejumput rambut. Sejurus kemudian tampak kepala dengan rambut yang sedikit awut-awutan macam sarang burung tekukur. Setelah kelihatan keseluruhannya laki-laki itu tinggi besar, memakai kaca mata lebar dengan frame plastik coklat, memakai kemeja putih: lengan pendek. Di pundaknya menyandang tas kulit coklat. Berjalan mantap.

Aku ragu kalau ia adalah kepala cabang. Tetapi gayanya yang berbeda dengan belasan pegawai lelaki yang lain membuatku berubah pikiran. Mungkin kemarin rapat sampai lewat tengah malam, sehingga paginya masih kelelahan, rambut pun tak sempat disisir. Langkahnya yang mantap, terkesan tergesa-gesa mengindikasikan ada momentum pagi ini yang tidak diingin dilewatkan.

Tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku  gugup, berdiri dan membungkuk persis di depannya. Ia hanya menyeringai, saat berjalan melewatiku. Mataku fokus ke pintu di depanku, pintu ruangan kepala cabang. Aku ingin menyaksikan bagaimana saat ia meraih handel pintu. Tetapi rupanya ia melewati ruangannya, terus berjalan melewati ibu sekretaris yang menunduk merapikan dokumen. 

Berjalan ke meja paling belakang. Kulihat ia jongkok membuka laci meja mengeluarkan segepok amplop amplop coklat berjendela. Bagian muka amplop itu  ditutup dengan kertas tipis transparan sehingga alamat kepada siapa surat itu ditujukan tampak terlihat melalui jendela itu. Tidak perlu menulis kembali alamat itu di muka amplop. Laki-laki bertubuh tinggi besar dan rambut awut-awutan itu tugasnya mengantar surat.

Mataku kembali tertuju ke ujung tangga. Tak lama pria tegap memakai baju sapari empat saku, rambut kelimis disisir ke samping, naik ke lantai dua menenteng tas echolac hitam. Ia berjalan cepat. Tak salah lagi, pikirku. Belum sempat aku berdiri ia sudah berada tepat di depanku. Dengan sigap aku segera bankit untuk berdiri kemudian membungkuk. Aku baru sadar ternyata aku membungkuk  ke area kosong karena terlambat, orangnya sudah berlalu.

Jantungku berdegup kencang ketika pria tadi membuka handel pintu dan masuk ke ruangan kepala cabang. Tidak lama pintu dibuka lagi dari dalam, ia keluar tanpa tas echolac menghampiri ibu sekretaris yang mejanya tak jauh dari pintu masuk.

"Embak, aku mengantar anak-anak ke sekolah dulu!"

"Enggih, Mas,"

Ia bergegas turun ke lantai satu. Ia supir kepala cabang.

Kembali aku terbenam di sofa warna khaki itu. Tangan kiriku memegang notes kecil, tangan kanan memainkan bolpoint kuputar-putar. Dari jendela kaca di sebelah timur sinar matahari menyemburat. Hari mulai terang. Pegawai laki-laki dan perempuan sudah menghadapi pekerjaan masing-masing. Di mejanya menumpuk berkas-berkas yang disusun dalam stopmap polio.

Ibu sekretaris menulis agenda surat masuk, lalu agenda surat keluar, membuat nomor surat di pinggir kiri atas amplop coklat kemudian menyusun amplop surat itu di sisi meja kerjanya. Aku menghela napas.

Ibu sekretaris bangkit dari duduknya. Ibu berusia 40-an tahun -menurut perkiraanku, memakai blazer warna biru dongker, sepatu hak 3 cm, rambutnya sebahu diblow, bagian depannya mencuat ke atas macam ombak di pantai selatan. Ia berjalan dengan baki di tangan, berisi surat-surat masuk dan keluar. Ia berjalan menuju ke ruangan kepala cabang. Sejurus kemudia ia keluar lagi dan duduk kembali di mejanya. Menarik laci meja lalu mengeluarkan cepuk kecil. Ia mengambil cermin kecil dari dalam cepuk kecil itu, juga sebatang lipstik. Tak lama kemudian pesawat telpon di atas meja ibu sekretaris berdering.

"Enggih, Bapak." kata Ibu Sekretaris itu.

Dari seberang tidak terdengar suara apa-apa. Ibu sekretaris memandang ke arahku dengan gagang telpon menempel di telinganya. Sebentar saja, selanjutnya ia seperti berbicara sendiri.

"Enggih."

Lalu diam. Gagang telpon tetap menempel.

"Enggih, Bapak. Enggih...enggih...enggih. Enggih, Bapak."

Klik. Gagang telpon kembali berbaring di tempatnya.

Sunyi. Aku menahan napas. Ibu sekretaris mendekatiku. Ia berbisik-bisik kepadaku. Aku mengangguk-angguk beberapa kali lalu bangkit dari sofa meraih tas punggung yang dari tadi termangu di  dekat kaki.

Pagi itu kepala cabang tidak naik ke lantai dua. Dari lantai satu langsung pergi keluar, berangkat rapat di Bank Indonesia. Hari pertama, aku gagal bertemu kepala cabang.

Pegawai-pegawai di lantai dua yang dari pagi duduk menunduk menatap kertas dengan bolpoint di tangan, sebagian sekarang duduknya sudah tegak menatap ke depan.  Sebagian lagi duduk menyender, kaca matanya ditaruh di atas meja. Tidak ada ketegangan.

Sementara keringat di tengkukku, membasahi kerah kemeja. Pagi itu aku merasa lelah, tidak jelas apa penyebabnya.

#salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun