Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amplop Berwarna Coklat Panjang Berjendela

17 Februari 2020   10:22 Diperbarui: 24 Februari 2020   07:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku  gugup, berdiri dan membungkuk persis di depannya. Ia hanya menyeringai, saat berjalan melewatiku. Mataku fokus ke pintu di depanku, pintu ruangan kepala cabang. Aku ingin menyaksikan bagaimana saat ia meraih handel pintu. Tetapi rupanya ia melewati ruangannya, terus berjalan melewati ibu sekretaris yang menunduk merapikan dokumen. 

Berjalan ke meja paling belakang. Kulihat ia jongkok membuka laci meja mengeluarkan segepok amplop amplop coklat berjendela. Bagian muka amplop itu  ditutup dengan kertas tipis transparan sehingga alamat kepada siapa surat itu ditujukan tampak terlihat melalui jendela itu. Tidak perlu menulis kembali alamat itu di muka amplop. Laki-laki bertubuh tinggi besar dan rambut awut-awutan itu tugasnya mengantar surat.

Mataku kembali tertuju ke ujung tangga. Tak lama pria tegap memakai baju sapari empat saku, rambut kelimis disisir ke samping, naik ke lantai dua menenteng tas echolac hitam. Ia berjalan cepat. Tak salah lagi, pikirku. Belum sempat aku berdiri ia sudah berada tepat di depanku. Dengan sigap aku segera bankit untuk berdiri kemudian membungkuk. Aku baru sadar ternyata aku membungkuk  ke area kosong karena terlambat, orangnya sudah berlalu.

Jantungku berdegup kencang ketika pria tadi membuka handel pintu dan masuk ke ruangan kepala cabang. Tidak lama pintu dibuka lagi dari dalam, ia keluar tanpa tas echolac menghampiri ibu sekretaris yang mejanya tak jauh dari pintu masuk.

"Embak, aku mengantar anak-anak ke sekolah dulu!"

"Enggih, Mas,"

Ia bergegas turun ke lantai satu. Ia supir kepala cabang.

Kembali aku terbenam di sofa warna khaki itu. Tangan kiriku memegang notes kecil, tangan kanan memainkan bolpoint kuputar-putar. Dari jendela kaca di sebelah timur sinar matahari menyemburat. Hari mulai terang. Pegawai laki-laki dan perempuan sudah menghadapi pekerjaan masing-masing. Di mejanya menumpuk berkas-berkas yang disusun dalam stopmap polio.

Ibu sekretaris menulis agenda surat masuk, lalu agenda surat keluar, membuat nomor surat di pinggir kiri atas amplop coklat kemudian menyusun amplop surat itu di sisi meja kerjanya. Aku menghela napas.

Ibu sekretaris bangkit dari duduknya. Ibu berusia 40-an tahun -menurut perkiraanku, memakai blazer warna biru dongker, sepatu hak 3 cm, rambutnya sebahu diblow, bagian depannya mencuat ke atas macam ombak di pantai selatan. Ia berjalan dengan baki di tangan, berisi surat-surat masuk dan keluar. Ia berjalan menuju ke ruangan kepala cabang. Sejurus kemudia ia keluar lagi dan duduk kembali di mejanya. Menarik laci meja lalu mengeluarkan cepuk kecil. Ia mengambil cermin kecil dari dalam cepuk kecil itu, juga sebatang lipstik. Tak lama kemudian pesawat telpon di atas meja ibu sekretaris berdering.

"Enggih, Bapak." kata Ibu Sekretaris itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun