Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Pernah Menilai Buku Hanya dari Covernya

26 November 2019   09:19 Diperbarui: 26 November 2019   09:31 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

Jangan pernah nenilai buku hanya dari covernya. Kalimat bijak ini kerap kita mendengarnya untuk mengingatkan siapa pun agar tidak sembarangan dalam menilai segala sesuatu tak kecuali karakter seseorang. Lakukan pendalaman dengan mengolah data dan fakta kalau ibarat buku mah bacalah lembar demi lembar sampai halaman terakhir.

Ini yang aku pikirkan ketika menilai kawanku sendiri Wawan. Maafkan ya Wan, selama ini ternyata aku keliru.

Wawan teman kuliahku di Fakultas Peternakan Unpad. Tidak terlalu dekat berkawan dengannya tetapi ia teman baik. Saat kali pertama mendaftar di Biro Kemahasiswaan Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung ia berada di belakangku saat registrasi ulang. Boleh dikatakan ia kawan pertama satu fakultas yang aku temui. Aku nomor urut absen J82002 ia nomor J82003.

Dalam 2 tahun pertama kami kuliah bersama, selanjutnya menginjak semester ke-5 ketika mulai memilih jurusan bidang studi kelas kami berbeda. Tetapi masih kerap ketemu, paling tidak di kantin atau di halaman kampus saat menjelang atau selesai kuliah. Namun setelah KKN dan penelitian tahun 1986, kami tak berjumpa lagi secara fisik. Hanya kabar burung yang didapat dari kawan lain tentang keberadaannya.

Dalam beberapa pertemuan reuni angkatan atau pertemuan informal lain ia tak pernah muncul untuk bergabung. Tak ada juga bergabung dalam group WA, seperti anak hilang yang ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa kaget ketika mendengar ia akan hadir dalam reuni Fapet82 kali ini.

"Masih ada kamar kosong gak di Hotel?" bisik Gantjar kepada Rismawati malam sehabis pesta barbaque.

Rismawati menatap Gantjar dengan mimik heran, kemudian menarik tangan Gantjar ke luar ruangan menghindari bunyi riuh rendah kawan-kawan lain yang sedang menari poco-poco. Tidak kudengar apa yang dibicarakan, keduanya saling berbisik.

"Jangan bilang-bilang aku yang kontak dia ya!" pinta Gantjar kepadaku sehabis bicara dengan Rismawati. Aku mengangguk.

Pagi sehabis subuh aku ketemu Wawan saat sedang mengobrol di depan kamar Dedi Abah, Ucok mau mengantar Mick-Mick yang mau pulang ke Cianjur bersama Roni Umaran, Hasnul Abrar ke Lampung dan Dedi Sopian yang pamit mengantar istrinya ke Kandanghaur. Saat itu Wawan menuruni tangga dari lantai 2 untuk bergabung. Jujur, ketika pertama kali menatapnya aku seperti tak mengenalnya. Ia tampak lebih tua dari umurnya memakai piyama lusuh warna putih tua, kaos sweeter abu-abu dan berkopiyah hitam dan bersandal kulit dan berkacamata minus. Ia berjalan pelan menuruni tangga.

Ia menyalami kami satu per satu. Pertama menyalami Hasnul Abrar sambil sebelumnya bertanya, "ini siapa!?" Dan sehabis dijawab sama yang disalaminya ia berkata, "Oh..!" Begitu seterusnya, menatap wajah kawan bertanya, "Ini siapa?" kemudian "Oh...!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun