Mohon tunggu...
johanes jonaz
johanes jonaz Mohon Tunggu... -

just an ordinary traveller

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gua Umbultuk Blitar Selatan, Pesona Perut Bumi di Jawa Timur

11 September 2013   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:03 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami sangat beruntung! Itu ekspresi saya dan teman-teman seperjalanan begitu selesai caving di gua Umbultuk yang terletak di desa Tumpak Kepuh, kecamatan Bakung, kabupaten Blitar. Dalam petualangan seru kali ini, kami berlima (Saya, Dian, Dini, Elen, dan Ledy) dan seorang pengemudi mengunjungi Blitar dan sekitarnya. Tujuan utama kami untuk mengunjungi gua Umbultuk. Saya tergoda untuk mencoba datang ke tempat ini setelah semalaman saya dibrainwash oleh Mas Toni, teman baru kami yang bertemu di Karimunjawa beberapa waktu lalu. Menurut Mas Toni, gua ini sangat unik karena mulut guanya berupa sungai yang bila musim hujan tiba hanya bisa dimasuki dengan cara menyelam. Selain itu stalagtit dan stalagmit di gua ini sangat spesifik, setiap segmen gua mempunyai ciri khas tersendiri. Cerita Mas Toni begitu menghipnotis saya sehingga saya ingin membuktikannya. Tidak sulit untuk menuju gua Umbultuk, dari kota Blitar kami bergerak ke selatan melalui jalan yang sudah halus teraspal. Jalan ini searah dengan jalan ke arah Pantai Tambak Rejo. Jangan takut tersesat jika tidak punya GPS, masyarakat Blitar sangat informatif dan sangat ramah. Hanya bermodal senyum dan mulut manis, niscaya semua informasi yang dibutuhkan akan lengakp didapatkan. Saya suka dengan mereka, sepanjang perjalanan saya menyapa mereka dengan anggukan kepala atau sekedar bilang “monggo”… dan respon yang tulus berupa lambaian tangan atau anggukan kepala dari mereka sungguh membuat hati saya tentram… Sampai di lokasi kami disambut oleh sekelompok pemuda tanggung yang menawarkan jasa pemandu. Saya dan teman-teman sempat tawar menawar dengan mereka yang setelah selesai membuat kami semua menyesal… menyesal kenapa harus menawar. Pasalnya, mereka memberikan service lebih dan all in. Dua lampu dan dua pemandu yang kamii sepakati berubah menjadi lima pemandu dan dua lampu petromax plus beberapa senter. Segera setelah lampu petromax dinyalakan, kami bersiap untuk memulai petualangan mengarungi sungai di dalam perut bumi… Untuk masuk ke mulut gua kami harus berjalan merunduk sampai beberap meter ke dalam. Cahaya dari mulut gua yang dialiri air setinggi lutut menjadi sumber cahaya utama sampai radius sepuluh meter ke dalam, selanjutnya dua lampu petromax yang kami bawa menjadi sumber cahaya satu-satunya selama di dalam gua. Saya mendengar gemericik air di sebelah kanan gua, dan dalam keremangan cahaya lampu saya melihat air terjun yang berundak-undak, air turun melalui sedimen bebatuan yang membentuk terasiring berwarna kecoklatan… sangat indah. Ada sebuah lorong di sebelah kiri air terjun, dan kami harus menaikinya.. Saya sempat terantuk batu karena belum terbiasa dengan medan dan cahaya yang minim.. tapi sensasi suasana gua yang gelap dan basah mengalahkan semuanya… Saya dan teman-teman tetap bergerak maju. Di segmen pertama saya tidak melihat stalagtit.. Dasar gua didominasi oleh kerikil halus dan atap gua yang berupa batuan keras karang khas pantai. Di segmen berikutnya saya mulai melihat stalagtit muda di atap gua, bentuknya seperti (maaf) susu sapi yang bergelantungan dimana-mana dan dasar gua mulai dipenuhi dengan kerikil yang agak tajam. Di sini kami melihat ada sebuah stalagtit dan stalagmit yang sudah menyatu. Penduduk setempat menamainya Watu Sanggar Tretes.. entah apa artinya, tapai pasti ada satu makna dibalik penamaan batu itu. Segmen berikutnya adalah kolam lumpur… Saya tidak tau darimana asal lumpur ini, namun perjalanan menjadi sangat lambat karena medan menjadi licin. Kami harus merayap, berpegangan pada dinding gua sambil menyeimbangkan badan agar tidak terpeleset dan sampai pada lokasi berikutnya dengan selamat. Di sini ukuran stalagtit relatif lebih besar dan lebih lebar dari segmen sebelumnya.

13788741121752206071
13788741121752206071
Setelah bersusah payah dengan lumpur, segmen berikutnya menantang kemampuan berenang kami. Kami sampai pada sungai yang terdalam. Kami harus berenang melewati bagian itu untuk sampai ke segmen selanjutnya. Pemandu kami meminta untuk berpegangan pada dinding gua sambil bergerak melawan arus sungai yang pada saat itu tidak begitu deras karena musim kemarau. Ada sedikit rasa panik, karena beberapa teman kami tidak bisa berenang. Saya bisa membayangkan rasanya kaki yang tidak bisa merasakan dasar sungai, ditengah cahaya yang minim dengan badan yang sudah menggigil karena sudah basah kuyup sejak memasuki mulut gua. Teman yang tidak bisa berenang digendong di punggung pemandu dan kami pun melewati daerah itu dengan selamat. Ditengah rasa was-was itu, tiba-tiba ada suara seperti bunyi gong yang bertalu-talu. Rupanya salah satu pemandu kami memukul dinding gua yang berbentuk buku-buku raksasa sehingga memantulkan bunyi tadi menjadi bunyi gong yang bergema bertalu-talu… Ah, itu Watu Gong rupanya… dan kamipun berlomba-lomba memukulnya… Hilang sudah rasa panik berganti dengan sukacita membunyikan musik alam. Di akhir segmen, kami tiba di Watu Selendang. Mega stalagtit yang mungkin usianya ribuan tahun menjuntai ke dasar gua membentuk selendang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana batu ini terbentuk dari tetesan air dari atap gua yang tinggi. Tidak hanya satu, tapi puluhan batu menjulur membentuk papan-papan yang bila diamati sangat halus menyerupai selendang putri kahyangan. Kaki Watu Selendang ini diselimuti sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Kami menghabiskan waktu lumayan lama di segmen ini… memuji kebesaran Tuhan buat karyaNya yang luar biasa indah.
1378874138602807797
1378874138602807797
Sebenarnya Watu Selendang ini bukan segmen terakhir di gua Umbultuk, masih banyak segmen-segmen lain di dalam gua yang konon kabarnya pemandangannya semakin ke dalam semakin indah. Mungkin lain kali saya akan kembali dan menuntaskan petualangan sampai ke ujung gua ini… Saya sangat beruntung bisa melihat keindahan gua Umbultuk… saya percaya tidak banyak yang punya kesempatan untuk melihat fenomena ini. Catatan : Sebaiknya melepas alas kaki, dengan begitu kita bisa merasakan bermacam-macam tekstur lantai gua; mulai dari kerikil halus, pasir, lumpur yang seolah bergerak, cadas, dan tentu memudahan kita berenang di air. Saya juga melihat fauna khas kegelapan diantaranya kelelawar, udang dan ikan transparan. Setiap segmen dalam gua ini sangat unik, perbedaan bentuk dan ukuran stalagtit dan stalagmit sangat berbeda. Medan yang dilalui juga beragam, mulai merunduk, merangkak, merayap, dan berenang. Sebaiknya gunakan gaya apung air bila melewati dasar gua yang tajam; caranya tenggelamkan badan sampai sebatas dada, tekuk kaki dan berjalanlah seperti biasa. Lepas dari cerita mistis tentang gua ini, asal kita bersikap santun semuanya akan baik-baik saja…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun