Kami sangat beruntung! Itu ekspresi saya dan teman-teman seperjalanan begitu selesai caving di gua Umbultuk yang terletak di desa Tumpak Kepuh, kecamatan Bakung, kabupaten Blitar. Dalam petualangan seru kali ini, kami berlima (Saya, Dian, Dini, Elen, dan Ledy) dan seorang pengemudi mengunjungi Blitar dan sekitarnya. Tujuan utama kami untuk mengunjungi gua Umbultuk. Saya tergoda untuk mencoba datang ke tempat ini setelah semalaman saya dibrainwash oleh Mas Toni, teman baru kami yang bertemu di Karimunjawa beberapa waktu lalu. Menurut Mas Toni, gua ini sangat unik karena mulut guanya berupa sungai yang bila musim hujan tiba hanya bisa dimasuki dengan cara menyelam. Selain itu stalagtit dan stalagmit di gua ini sangat spesifik, setiap segmen gua mempunyai ciri khas tersendiri. Cerita Mas Toni begitu menghipnotis saya sehingga saya ingin membuktikannya. Tidak sulit untuk menuju gua Umbultuk, dari kota Blitar kami bergerak ke selatan melalui jalan yang sudah halus teraspal. Jalan ini searah dengan jalan ke arah Pantai Tambak Rejo. Jangan takut tersesat jika tidak punya GPS, masyarakat Blitar sangat informatif dan sangat ramah. Hanya bermodal senyum dan mulut manis, niscaya semua informasi yang dibutuhkan akan lengakp didapatkan. Saya suka dengan mereka, sepanjang perjalanan saya menyapa mereka dengan anggukan kepala atau sekedar bilang “monggo”… dan respon yang tulus berupa lambaian tangan atau anggukan kepala dari mereka sungguh membuat hati saya tentram… Sampai di lokasi kami disambut oleh sekelompok pemuda tanggung yang menawarkan jasa pemandu. Saya dan teman-teman sempat tawar menawar dengan mereka yang setelah selesai membuat kami semua menyesal… menyesal kenapa harus menawar. Pasalnya, mereka memberikan service lebih dan all in. Dua lampu dan dua pemandu yang kamii sepakati berubah menjadi lima pemandu dan dua lampu petromax plus beberapa senter. Segera setelah lampu petromax dinyalakan, kami bersiap untuk memulai petualangan mengarungi sungai di dalam perut bumi… Untuk masuk ke mulut gua kami harus berjalan merunduk sampai beberap meter ke dalam. Cahaya dari mulut gua yang dialiri air setinggi lutut menjadi sumber cahaya utama sampai radius sepuluh meter ke dalam, selanjutnya dua lampu petromax yang kami bawa menjadi sumber cahaya satu-satunya selama di dalam gua. Saya mendengar gemericik air di sebelah kanan gua, dan dalam keremangan cahaya lampu saya melihat air terjun yang berundak-undak, air turun melalui sedimen bebatuan yang membentuk terasiring berwarna kecoklatan… sangat indah. Ada sebuah lorong di sebelah kiri air terjun, dan kami harus menaikinya.. Saya sempat terantuk batu karena belum terbiasa dengan medan dan cahaya yang minim.. tapi sensasi suasana gua yang gelap dan basah mengalahkan semuanya… Saya dan teman-teman tetap bergerak maju. Di segmen pertama saya tidak melihat stalagtit.. Dasar gua didominasi oleh kerikil halus dan atap gua yang berupa batuan keras karang khas pantai. Di segmen berikutnya saya mulai melihat stalagtit muda di atap gua, bentuknya seperti (maaf) susu sapi yang bergelantungan dimana-mana dan dasar gua mulai dipenuhi dengan kerikil yang agak tajam. Di sini kami melihat ada sebuah stalagtit dan stalagmit yang sudah menyatu. Penduduk setempat menamainya Watu Sanggar Tretes.. entah apa artinya, tapai pasti ada satu makna dibalik penamaan batu itu. Segmen berikutnya adalah kolam lumpur… Saya tidak tau darimana asal lumpur ini, namun perjalanan menjadi sangat lambat karena medan menjadi licin. Kami harus merayap, berpegangan pada dinding gua sambil menyeimbangkan badan agar tidak terpeleset dan sampai pada lokasi berikutnya dengan selamat. Di sini ukuran stalagtit relatif lebih besar dan lebih lebar dari segmen sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H