Indonesia adalah sebuah negara yang besar. Sedari dulu, setiap pemimpin bangsa selalu berusaha untuk memajukan Indonesia. Akan tetapi, memajukan bangsa bukanlah merupakan suatu hal yang murah.Â
Prosesnya mahal, dan mengikutsertakan peran dari manusia itu sendiri, yang dalam hal ini adalah aparat sipil negara. Sama halnya dengan manusia lainnya, aparat negara juga sesekali khilaf. Tanpa berpikir panjang, mereka mengalihfungsikan uang yang sejatinya ditujukan untuk kemakmuran rakyat untuk kemakmurannya dan keluarganya seorang.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa korupsi adalah suatu kegiatan yang melekat pada tiap periode pemerintahan. Sejak 1945, korupsi sudah mengguncang sejumlah partai politik. Salah satunya adalah Mr. Djody Gondokusumo, seorang mantan Menteri Kehakiman yang tersandung perkara gratifikasi dengan Bong Kim Tjhong, yang diduga menerima suap Rp20.000 guna memperoleh kemudahan dalam memperpanjang visa.Â
Memasuki masa orde baru, saat Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Indonesia tetap dilanda pelbagai kasus korupsi. Sebagai contoh, kasus korupsi Badan Urusan Logistik (Bulog).Â
Bulog adalah suatu badan yang menyuplai kebutuhan beras nasional. Presiden Soeharto menganggap penempatan kalangan tentara di puncak pimpinan Bulog adalah suatu hal yang baik guna menjaga keamanan pelaksanaan tugas. Akan tetapi, para pimpinan Bulog ini malah terlibat kasus pengadaan, penjualan, bahkan pendistribusian beras secara gelap.Â
Mereka telah merencanakan pengadaan beras dengan biaya Rp69,517 miliar. Tidak hanya itu, aparatur negara yang bekerja dalam PN Telekomunikasi, yang sekarang dikenal sebagai PT Telkom juga melakukan tindak pidana korupsi, dengan memanipulasi harga pembelian rumah. Anggaran yang tidak sesuai dengan harga aktual rumah sejatinya juga telah merugikan negara. Lebih mengecewakan lagi, Soeharto, berdasarkan temuan Transparency International (2004), dinobatkan sebagai presiden terkorup sedunia, dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.
Maraknya tindak pidana korupsi-lah yang mendorong pembentukan suatu lembaga independen guna memberantas tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dirumuskan dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam masa reformasi, bertujuan untuk menumpas korupsi. Pun demikian, lembaga tersebut hanya mampu mengurangi jumlah pelaku korupsi dan belum mampu memberantas korupsi secara absolut.Â
Indonesian Corruption Watch (ICW) memaparkan, bahwa hanya dalam semester 1 2018, sudah terdapat 92 kasus korupsi, dengan rincian sebagai berikut: 39 kasus penyalahgunaan anggaran, dengan kerugian negara Rp86,5 miliar, 26 kasus markup, dengan kerugian negara Rp372 miliar, 24 kasus suap dengan kerugian negara sebesar Rp41,7 miliar, 1 kasus anggaran ganda dengan kerugian negara sebesar Rp1,6 miliar, 1 kasus markdown, dengan kerugaian negara sebesar Rp1,4 miliar, dan 1 kasus proyek fiktif, dengan kerugian negara sebesar Rp810 juta.Â
Pelakunya berasal dari berbagai latar belakang, seperti aparat sipil negara (101 orang), ketua/anggota DPRD (68 orang), kepala daerah (22 orang), pejabat pengadaan (19 orang), dan aparatus desa (11 orang).Â
Rincian di atas menunjukkan bahwa kasus korupsi masih marak terjadi bahkan dengan adanya pengawasan dari lembaga anti rasua: KPK. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih tersedianya ruang bagi aparat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Birokrasi negara belum seluruhnya transparan, sehingga pengawasan yang terlaksana masih tergolong minim.
Selain dari permasalahan tindak pidana korupsi yang telah mendarah daging, masalah ketidakprofesionalan aparat juga menjadi kekhawatiaran tersendiri. Ketidakprofesionalan aparat ini juga menjadi faktor pendorong maraknya kasus korupsi dalam birokrasi di Indonesia. Dikemukakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dahulu, banyak oknum peserta yang membayar orang dalam untuk membocorkan dokumen rahasia.Â