Suatu sore, selepas bekerja sepanjang hari, istri tiba-tiba mengajak saya untuk keluar rumah. "Kaka kita jjs (jalan-jalan sore) ya"
Hal yang aneh karena sepanjang beberapa tahun menikah, waktu quality time kami bukan di hari kerja, melainkan akhir pekan. Apalagi ajakan itu dibuat di hari senin. Senin adalah hari terpadat bagi kami berdua.
Saya menyetujui saja, karena tahu pasti ada hal penting. Selanjutnya barulah saya paham. Teman-teman di tempat kerjanya saling mengajak satu sama lain untuk bertemu. Tidak banyak hanya mereka berempat. Saya akhirnya mengenal mereka. Ibu Agnes, ibu Sari, ibu Deo dan tentu saja istri saya.
Isteri baru saja pindah ke tempat kerja yang baru. Pandemi selama ini membuat mereka harus bekerja secara online. Konteks kerja ini membuat isteri kesulitan membangun relasi dan tim kerja barunya.
Ada suatu ruang alamiah penting yang berangsur-asur lenyap dari sistem kerja daring. Di Kupang misalnya, ruang alamiah untuk sosialisasi adalah sifat basa-basi yang kental. Bekerja tanpa diselingi jokes-jokes ringan di sela-sela kegiatan serius, Â membuat pekerjaan menjadi dua kali lebih berat.
Kerja daring lewat ruang maya, menghilangkan sisi tersebut. Batasan waktu tertentu lewat aplikasi misalnya zoom atau google meet, membuat waktu hening atau jeda dalam percakapan menjadi tak terjembatani.
Kopi kembo adalah satu contoh pentingnya. Istri dan teman-temannya kemudian sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi di Kupang. Sebut saja namanya kedai kopi Kembo. Kedai kopi yang bertebaran di jalan-jalan utama kota Kupang.
Awalnya saya berpikir akan mojok sendiri. Berusaha tidak mengusik percakapan para wanita. Saat berada di lokasi, kedai kopi sudah penuh terisi. Tersisa satu tempat yang sudah dipesan untuk titik berkumpul mereka.
Saya akhirnya ikut  larut dalam percakapan mereka selama 5 jam  berikutnya. Jokes diselingi perkenalan, pembicaraan serius, gibah, kembali ke jokes lalu curhatan sahut menyahut, menjadikan waktu 5 jam terlesap dengan sendirinya. Malam itu mereka sepakat membaptis nama saya dan istri menjadi "bapak dan ibu Ji". Saya tertawa kencang begitu pula mereka.
Saya hanya membayangkan mungkin pembicaraan kaum wanita ini tidak akan berakhir jika bukan kedai kopi yang menjadi tempatnya. Seorang pelayan setelah sekian jam kemudian datang menginformasikan bahwa kedai kopi akan segera tutup. Waktu menunjukkan pukul 23.45. Kami harus bubar.
Lewat cerita, jokes, gibah dan curhatan selama kurun waktu 5 jam itu, seluruh informasi tentang masing-masing pribadi terkumpul. Ada daya natural yang tidak mungkin bisa terbaca dari pertemuan secara daring.
Isteri saya pernah mencoba metode cerita, jokes, gibah dan curhatan lewat aplikasi pertemuan semisal zoom bersama salah satu karibnya di Bandung. Semakin bercerita semakin kerinduan untuk pertemuan fisik dirasakan.  Ruang  untuk menunjukkan sesuatu secara nyata, semisal gibah pengunjung kedai lain, atau merasakan tawa nyata lawan bicara tidak mungkin terjadi di ruang maya. Apalagi terhadap sejumlah teman kerja yang baru saja dikenal.
Kopi Kembo adalah contoh ruang publik sekaligus ruang privat. Di sudut lain kedai itu ada beragam pengunjung lain yang datang mungkin dengan motivasi sama.
Di Kupang sejauh yang saya amati, ada aturan tak tertulis, bahwa di ruang publik semisal kafe ataupun restoran, Â siapa pun dengan kelompoknya, bisa ngakak sepuasnya tanpa perlu takut ditegur.
Kopi kembo menyediakan salah satu fasilitas tak tertulis itu.
Saat perjalanan kembali ke rumah, kepala saya diisi dengan apa yang terjadi di kedai kopi Kembo. Dunia kami sudah penuh dengan aturan-aturan khas kaum lelaki. Bahasa teknisnya kaum patriarki. Seluruh aturan disusun oleh kaum lelaki dan sudah berurat akar tertanam dalam imajinasi.
Ruang perempuan dalam dunia tradisional adalah dapur. Saya kemudian membayangkan ibu dahulu membangun kekuatan dan relasinya dari dapur. Ibu bekerja di rumah tapi bukan work from home (WFH) Â dalam situasi pandemi. Â Sesama teman akan datang untuk menannyakan hal remeh, semisal bumbu apa saja yang dipakai pada masakan tertentu, atau kue jenis tertentu harus dipadukan dengan bahan apa agar renyah rasanya.
Ibu-ibu  tetangga akan datang dan membicarakan hal penting lewat medium bumbu masak dan pembuatan kue. Isi informasi akan menjadi cukup beragam tentang gosip anak tetangga tertentu yang sakit dan tips-tips memelihara anak sampai hal-hal serius soal pengaturan keuangan dan curhatan penting cara menghadapi suami.
Dimensi gosip dalam kaca mata pria yang mungkin negatif menjadi sangat sosial dan edukatif bagi para wanita. Saya membayangkan tanpa siasat ruang nyaman wanita, tak mungkin lahir anak-anak cerdas dan berkarakter.
Begitulah akhirnya, istri dan sahabat-sahabat barunya, menghabiskan malam mereka di kedai kopi Kembo. Mereka dengan dunianya dan saya yang berada di sudut berusaha membaca alur percakapan yang terbangun. Berusaha tetap pada jalur sambil mengingat kembali masa kecil bersama ibu di rumah dan sahabat-sahabatnya.
Sesaat sebelum mematikan lampu kamar, saya ingat pepatah tua ini "Generasi tangguh dilahirkan para ibu tangguh", terima kasih untuk semua perempuan tangguh, di mana saja kalian berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H