Ada satu hal  penting yang mencolok dan  kemudian dibuka oleh budaya digital ini yaitu soal partisipasi. Dalam budaya digital di ruang virtual misalnya seorang individu dapat berpartisipasi dalam hal apa saja. Sumber dan proyeksi tidak lagi terpusat karena asal ada kuota internet maka obrolan dan relasi bisa berlangsung dengan lancar.Â
Kesan lokal di Kupang, atau Lokal di Bajawa bisa terkoneksi dengan lokal di Amerika atau Perancis. Kampus IAKN Kupang bisa terhubung dengan Kampus bergengsi di Amerika atau Inggris. Semua bisa terhubung dalam hobi, contohnya komunitas pencinta alam atau komunitas pencinta barang purbakala atau komunitas intelektual tertentu. Di sana komunikasi menjadi termediasi walaupun tetap butuh usaha penting untuk mempelajari transparansi masyarakat virtual. Hal ini disebabkan karena masyarakat virtual hampir pasti menghadirkan berbagai hal dan nilai bisa tanpa rujukan hukum dan otoritas.
Kembali soal berproduksi atau beraktivitas dalam budaya digital. Masyarakat dalam budaya digital seringkali terpetakan dalam situasi pasar. Interaksi di pasar secara jelas dibangun oleh produksi-produksi dan serapan konsumsi tertentu. Sebagai dosen misalnya saya tentu saja membutuhkan konten-konten perkuliahan yang menarik agar mampu diserap mahasiswa. Atau sepupu saya yang suka membuat musik Rap perlu memikirkan hal yang sama. Pembayangan akan pasar yang dimasuki seperti apa ini membantu kita semua agar tidak terseret dalam pusara budaya digital.
Membayangkan pasar digital sesederhana memasuki sebuah pasar di dunia nyata. Meski dalam konteks virtual, di sana tetap ada komoditas yang dijual, ada produsen, ada konsumen, modal ekonomi maupun sosial, karakter komunikasi transaksional, juga karakter komunitas.
Meminjam analisis filsuf Bordeu, secara pribadi mudah mengidentifikasi siapa pasar pertama saya. Contoh kecil saat memikirkan tulisan ini. Kepada siapa nantinya akan dibagi pertama kali sudah dengan sendirinya muncul di kepala. Tentu saja pasar pertama saya adalah orang-orang terdekat, grup tertentu, teman dekat.  Ada semacam modal kultural bagaimana menciptkan karya dalam budaya digital. Hal ini tentu  sangat berbeda dengan model konvensional masa lalu.
Pertanyaan kemudian yang muncul yaitu tentang apakah kita benar-benar bebas dalam budaya digital ini? Seringkali orang hanya terjebak dalam suatu tren tertentu. Naluri semata ada karena desakan gairah ekonomi. Produksi konten dibuat karena ilusi konten semata sebab ada desakan untuk lekas berpindah dan bergerak secara cepat.Â
Kebaruan yang satu ditampik oleh kebaruan lainnya. Masyarakat lalu mudah terjebak pada penciptaan kebutuhan. Semua orang yang masuk dalam medan budaya digital merasakan ilusi yang sama yaitu kecenderungan akan kebutuhan untuk selalu up date. Aku up date maka aku ada. Ada ilusi untuk selalu berusaha tampil up date, meski di sana muncul negosiasi kuat antara kecepatan untuk berubah dan kedalaman yang bisa diperoleh.
Budaya digital memancing keluar begitu banyak aktivitas seperti pembuatan konten. Namun disayangkan ada begitu banyak konten tanpa isi mendalam. Banyak hal kemudian dikomodifikasi menjadi konten. Alam dan berbagai ragam hal menjadi konten. Semua orang bisa menjadi pakar dan berbicara tentang apa saja. Riset, pengamatan dan analisis menjadi nomor sekian sebab semua data bisa diperoleh dari mana saja bahkan bisa dibuat. Â Pada titik inilah kita seperti sedang terseret dalam budaya digital. Perlu sedikit usaha untuk berhati-hati menyikapinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H