[caption id="attachment_314347" align="alignleft" width="245" caption="poto : clipart.com"][/caption]
Sambil duduk di lantai papan yang sudah berwarna hitam kecoklatan, mataku terus saja sibuk menyaksikan aktivitas ibu yang sedang asyik memasak. Nampak juga kakakku sedang menikmati pekerjaannya memarut kelapa dengan parudan yang sudah agak tumpul, di sampingnya beberapa wadah yang berisi potongan-potongan pisang minurun, butiran kolang kaling dan gula aren yang dibuat secara tradisional membuat aromanya sudah merayap di indera penciumanku, “O... rupanya dia akan membuat kolak” gumamku dalam hati.
Sesekali pahaku terasa sakit seperti ada yang menggigit. Aku mengamati lantai papan yang sebagian berlubang-lubang akibat lapuk, mataku terus saja melotot mencari apa sebenarnya yang menggigitku, ukh... lagi-lagi cupit, hewan kecil yang menjadikan papan lapuk sebagai sarangnya. Aku dan kakakku menamainya cupit, karena hewan kecil ini sering mencubit paha maupun pantat orang yang duduk dan menutupi sarangnya. Tidak ada jalan lain, aku harus mengambil minyak tanah untuk menetesi lubang-lubang papan yang keropos tersebut, beberapa detik kemudian keluarlah binatang kecil berwarna coklat dengan kedua capit dimulutnya menggeliat-geliat dan lalu mati.
Sementara ibu sedang sibuk menyiapkan hidangan berbuka puasa yang sebentar lagi akan tiba, aku ikut membantu dengan menata piring, gelas, dan keperluan makan lainnya di lantai yang sudah terbebas dari sengatan kutu kayu, setidaknya untuk sementara.
Disampingku duduk bersila ayahku yang hampir tidak pernah tersenyum seumur hidupnya. Beliau memandangiku, namun kali ini bibir beliau sedikit terbuka dan tertarik kesamping, entah apa yang lucu dari tingkah lakuku hingga membuat ayah tersenyum, biasanya beliau hanya memberikan tatapan mata yang tajam dan kata-kata dengan nada tinggi.
Beberapa menit lagi akan segera berbuka puasa, suara zikir dan doa berkumandang lewat corong menara mesjid di seberang rumahku yang lumayan memekakkan telinga, saking nyaringnya sehingga kalau berbicara harus sedikit berteriak agar kedengaran.
Semua sudah siap untuk menikmati hidangan sederhana yang super lezat buatan ibu. Ayah masih saja tersenyum melihatku, aku masih terheran-heran, ibu menunjuk kearah piringku, kakak pun tertawa terpingkal-pingkal, bagaimana tidak, dipiringku nampak sejumput nasi putih yang dikelilingi aneka macam ikan, sepotong ayam sambal habang, pepes udang air pancur, sayur, beberapa biji buah kurma, dan sepotong kue lapis yang dibeli dari warung tetangga menjadi satu hingga membentuk seperti gunung merapi yang melelehkan laharnya, di kirinya sirup limus dengan rasa jeruk manis, di sebelah kanan piring terdapat segelas es kelapa muda segar. Tidak lupa kolak manis buatan kakakku tercinta J
“Waduh...meriah banget, kucingpun bisa berlindung di balik piring hingga tidak terlihat” celetuk kakakku yang dari tadi tidak berhenti mentertawakanku. Namun aku tidak perduli dan tetap bersila dihadapan makanan yang sudah siap kusantap.
“Kalau buka puasa tidak boleh berlebihan”, kata ayah tiba-tiba menasehatiku. Kali ini suara beliau nampak lirih dan lembut, beliau mengembangkan bibirnya sedikit walaupun masih terlihat gengsi, namun tatapan mata ayah kali ini begitu ramah.
Kesibukkan mentertawakanku membuat kami tidak sadar bahwa sirene di mesjid sudah dibunyikan dengan nyaringnya.
“Waktu berbuka puasa telah tiba, kaum muslimin dan muslimat selamat berbuka puasa”, begitulah kira-kira kalimat yang digunakan oleh salah seorang kaum mesjid untuk memberitahu masyarakat desa Tanah Bangkang.
Tidak pikir panjang, aku berdoa secepat kilat seperti kereta api yang sedang melaju, kusantap satu-persatu makanan yang ada dipiringku, sesekali aku mengambil salah satu minuman, dan kuselingi dengan minuman yang lain.
“Makannya jangan terlalu cepat, pelan-pelan saja” ibu mengingatkanku, namun aku tidak mengindahkannya, aku terus saja makan dengan lahap layaknya orang yang sedang menyeberang jalan tidak menengok ke arah kiri dan kanan, tiba-tiba kepalaku pusing, perutku mual, keringat dingin mulai keluar dari sela pori-pori kulitku.
“Bu, aku mau muntah”
Belum lagi ibu sempat berbicara, aku langsung lari ke kamar mandi, air liurku mulai bercucuran, dan siap-siap mengeluarkan semua makanan yang baru saja kutelan.
---------------------
Sepulang dari salat tarawih, ayah mengeluh sakit di dadanya, kulihat ayah nampak mengusap-usap perut bagian atas sembari meringis, dia tidak bisa tidur. Hingga saatnya sahur, ayah tidak bisa menelan makanan bahkan seteguk air minumpun ditolak oleh tenggorokan walau sudah berkali-kali dicoba.
“Sepertinya Allah sudah menutup rezeki untukku” kalimat yang dikeluarkan ayah membuat aku tersentak, kulihat wajahnya mulai pucat, matanya merah sayu, tenaganya melemah bahkan tidak bisa bangkit walau sekedar hanya untuk duduk saja. “Ah....semuanya begitu cepat terjadi” gumamku dalam hati.
Pagi hari, aku dan kakakku memaksamembawa ayah ke rumah sakit, beliau menolak, sepertinya rumah sakit sudah menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi pasien ASKES. Namun, kami tetap merayu hingga akhirnya beliau menyetujuinya.
“Ibu tidak usah ikut” pesan ayah sambil memandangi ibu, ibu hanya mengangguk mengiyakan sambil menahan tangisnya.
“Jangan menangis, aku tidak mau melihat ibu menangis” lanjut ayah dengan nada agak tinggi.
---------------------
Sudah dua hari ayah di rumah sakit, oleh dokter, ayah divonis kanker hati. “Astagfirullahalazim....” jantung serasa berhenti berdetak, segala urat badan terasa lemas, kaki seakan sudah tidak menginjak tanah lagi. Aku hanya bisa duduk merenung dan bertanya-tanya “apakah ayah punya kesempatan untuk menjalani hidup lebih lama lagi, oh...Tuhan apapun yang terjadi berikan ketabahan kepada kami, lebih-lebih lagi pada ibuku”
“Ah....bagaimana dengan ibu ?” pertanyaan itu selalu menghantui perasaanku, karena aku tidak tega melihat raut wajahnya yang tenang berganti dengan kesedihan. Aku tidak sanggup melihat keteduhan mata ibu berubah ketika harus menahan pilu. Mataku mulai berkaca-kaca, aku tidak mau kehilangan senyum ibu, keteduhan tatapan matanya, kelembutan sikapnya yang selalu menjadi pelarianku ketika ayah marah-marah, dan sifat beliau yang selalu mengalah kepada suami dan anak-anaknya.
Dari kejauhan terdengar sayup azan subuh yang mulai berkumandang, di atas ranjang beralaskan seprai putih, ayah tidak seperti biasanya, bila sebelumnya dia selalu merasa kesakitan di perut bagian atas, namun hari ini dia terlihat santai dan seperti tidak ada keluhan, nampak bibir ayah bergerak-gerak, aku menyodorkan telinga dan mendekatkan ke mulut ayah, dengan seksama kudengarkan apa yang dikatakan beliau, ternyata beliau menjawab azan, “Subhanallah.....”, setelah itu ayah terdiam, kuangkat kepala beliau dan kuletakkan diatas pangkuanku, nampak di bola matanya tidak ada lagi tatapan yang berarti, bibirnya sedikit terbuka, perlahan-lahan kulitnya pucat, suhu badanya menurun, kemudian sangat dingin dan mulai kaku “Ayah.....” isakku dengan sendu.
“Bayangmu ayah, walau jauh dari sanubari dan terkikis oleh waktu, namun mampu kurengkuh lewat lamunan yang hakiki. Bayangmu ayah, di sini, selalu kutuliskan sebait rindu yang tiada henti”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H