[caption id="attachment_362421" align="alignleft" width="239" caption="nyceducator.com"][/caption]
Judul di atas terinspirasi dari celotehan seorang guru yang baru saja menerima pencairan tunjangan profesi, diiringi gelak tawa dengan raut wajah nampak bahagia.
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, apalagi merendahkan guru, karena saya juga seorang guru. Hanya saja, sepertinya menjadi seorang guru diperlukan keikhlasan, bukan profesi yang dijadikan untuk mencari nafkah.
Memang tidak bisa dipungkiri, dari sejak digulirkan program sertifikasi guru sekitar tahun 2007, profesi guru merupakan profesi yang sangat menjanjikan dengan tunjangan satu kali gaji pokok. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan menjadi jurusan favorit dan paling banyak diminati calon mahasiswa, sehingga beberapa tahun terakhir menduduki peringkat teratas.
Namun, terlepas dari itu semua. Jujur, sampai sekarangsaya tidak berminat untuk mengikuti program sertifikasiguru, bukannya tidak mampu, tapi karena saya tidak mau. Banyak hal yang saya pertimbangkan mengapa saya bertahan untuk tidak mengikuti sertifikasi guru, salah satunya karena saya tidak ingin suatu hari gelar kehormatan “guru profesional” hanya menjadi sebuah “label”
Selain itu, seiring perjalanan waktu, fakta yang ada telah membuka mata dan menyadarkan saya, ternyata guru yang mendapat tunjangan profesi kinerjanya tidak jauh lebih baik dibanding tidak mendapat tunjangan profesi. Kalau saja terus-terusan seperti itu, sepertinyapendidikan di Indonesia dapat diramalkan sepuluh tahun ke depan seperti apa.
Ketika saya sedang duduk-duduk berkumpul dengan para guru dan kepala sekolah, kami sedang membicarakan rumitnya penggunaan aplikasi Dapodik, mereka mengeluh karena banyak JJM yang tidak linier sehingga terhambatnya pencairan uangsertifikasi. “yang jadi masalah adalah ini, uang” ujar seorang guru sambil menapak-napakkan telapak tangan ke atas meja dengan pelan.
Diwaktu luang, kami menyempatkan kembali berbincang-bincang sambil menghadapi laptop dan menatap monitor aplikasi pengisian Dapodik.
“Pak, sudah sertifikasi belum ?”
“Bagaimana mau sertifikasi, S1 saja belum, Bu”
“Kuliah saja, kamu masih muda, kalau tidak S1 nanti tidak bisa sertifikasi, sayang lo, tunjangan satu kali gaji pokok”
Yang lebih menyedihkan, ada yang berkomentar seperti ini.
“Kuliah tidak usah jauh-jauh di Perguruan Tinggi Swasta yang dekat saja, kamu tidak usah memikirkan mutu, yang penting kamu punya ijazah S1, dan bisa sertifikasai”
Bahkan teman-teman seprofesi saya, mereka merasa prihatin, karena saya adalah satu-satunya guru yang tidak mengantongi sertifikat pendidik.
Saya baru tersadar, ternyata selama ini orientasi untuk kuliah bukan untuk menimba ilmu, tapi semata-mata demi ijazah. Ijazah yang nantinya akan digunakan sebagai syarat mendapatkan sertifikat pendidik “hanya sebagai syarat” lain tidak. Oleh karena itulah, jangan heran kalau banyak guru yang punya ijazah tidak linier dengan bidang sertifikasinya
Setelah mendapat sertifikasi, apa yang terjadi, lagi-lagi demi mendapatkan satu kali gaji pokok “uang....lagi-lagi uang, uang bisa bikin orang senang bukan kepalang uh... Namun uang bisa juga bikin orang mabuk kepayang... (hehe... jadi teringat lagu yang dinyanyikan salah satu lady rocker Indonesia Nicky Astria). Siapa sih yang tidak mau uang, saya juga mau.
Wajar saja, selama ini tunjangan profesi yang diberikan kepada guru tidak diimbangi dengan peningkatan mutu guru itu sendiri, kenapa ? karena semua berawal dari niat (teringat lagi deh salah satu hadis Rasulullah ”innama a’malu binniat” segala sesuatu tergantung dari niatnya), jadi kalau niatnya dari awal sudah baik, pasti akhirnya menghasilkan yang baik juga. Selain itu, sepertinya guru tidak mau keluar dari zona nyaman, yakni duduk, dengar, catat, dan hapal.
Ironis, ada seorang guru yang bilang,”kalau sertifikasi dihapus, banyak guru pada satres, bagaimana tidak, masalahnya rata-rata mereka menggunakan uang sertifikasi untuk membayar angsauran mobil”. Disisi lain, ada juga guru yang sudah menggadaikan sertifikatnya kepada rintenir (Pusing Pala Barbe..... Pusing Pala Barbe......)
Saya juga pernah mengamati seorang guru mengisi sebuah formulir, saya memberanikan diri bertanya walaupun hati saya sebenarnya sudah tau.
“Lagi mengisi apa, Pak ?”
“Ini, saya mau pinjam uang di koperasi”
“Lo, kan uang sertifikasi bapak dibayarkan, kok malah mau pinjam di koperasi”
“Iya, pak. Uang sertifikasi tidak cukup, saya mau bayar utang, saya banyak utang, Pak. Juga buat uang masuk kuliah anak yang sebentar lagi akan kuliah”
Ada sebuah kejadian yang baru saja saya temukan, sekitar awal April 2015, kepanikan terjadi pada beberapa kepala sekolah, pasalnya pada penerbitan SKTP tugas tambahannya (sebagai Kepala Sekolah) tidak valid. Kalau status tidak valid berarti guru yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan tunjangan profesi satu kali gaji pokok. Usut punya usut ternyata jabatan kepala sekolah terkendala dengan Permendiknas No. 28 tahun 2010.
Dalam Permendiknas tersebut intinya tidak dikenal lagi ada periode keempat bagi jabatan kepala sekolah. Namun, yang terjadi SK Kasek yang kadaluarsa (setelah tiga periode) ada diantaranya yang berani memanipulasi tahun SK pada aplikasi Dapodik, bahkan mengubah nomor SK, padahal bukti fisiknya tidak ada, demi apa coba ?
Mungkin, beberapa kasus di atas hanya sedikit dari yang terjadi disekitar saya, entah mungkin berapa banyak kasus lain yang terjadi di luar sana.
Setelah hampir sepuluh tahun program sertifikasi guru, ada beberapa fakta yang saya temukan dari guru yang sudah mendapat sertifikasi, diantaranya :
Kinerja masih rendah; guru masih sering datang pukul 07.30 WIB bahkan pukul 08.00 WIB, pulang pukul 10.11 WIB, bahkan pukul 10.00 WIB. Yang tidak habis pikir, bila hujan pagi hari, banyak guru yang tidak hadir di sekolah, bahkan yang lebih parah seorang GTK yang rumahnya berdekatan dengan sekolah juga terlambat datang bahkan ada yang tidak datang sama sekali. Sepertinya tidak hadir di sekolah pada saat hujan membudaya dan bahkan sudah menjadi budaya.
Sering mengabaikan tugas; dalam hal ini hobby ngobrol sepertinya memang tidak bisa ditinggalkan, guru masuk ke kelas, siswa mencatat di papan tulis, siswa mengerjakan latihan dibuku tulis, lalu ditinggalkan dan ngobrol di kantor, guru beraktivitas sendiri sepertinya menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Selain itu, saat akan pencairan tunjangan profesi, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk melengkapi dan menyusun berkas.
Sering izin; kalau dulu guru sering izin tidak hadir ke sekolah karena sibuk mencari tambahan penghasilan (seperti ngojek, berjualan, dan lainnya). Namun setelah memperoleh tunjangan satu kali gaji pokok, kebiasaan itu berganti dengan kebiasaan baru, yakni sering melakukan perjalanan. Izin satu hari, tapi tidak masuk tiga hari, bahkan bisa satu minggu, dengan bermacam alasan. Kalau sekali dua kali sih tidak apa-apa, tapi kalau berkali-kali, ya....apalah-apalah.
Memang tidak semua guru seperti itu, tapi setidaknya paparan di atas adalah sebuah keadaan nyata yang saya temukan di lapangan. Sungguh sangat disayangkan, celotehan-celotehan “Dulu guru naik sepeda, sekarang naik avanza” tidak diimbangi dengan kualitas guru itu sendiri, program sertifikasi yang digagas pemerintah dengan tujuan meningkatkan kualitas guru ternyata berbanding terbalik dengan apa yang ada di lapangan. Sepertinya banyak guru yang lupa tujuan pemberian tunjangan sertifikasi tersebut, sehingga sertifikat pendidik tidak ubahnya seperti sebuah merek dagang belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H