Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tujuh Hari di Cikole, Tangkuban Perahupun Turut Bahagia

23 Februari 2018   09:01 Diperbarui: 23 Februari 2018   13:17 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana Kabut di Tangkuban Perahu (Dok. Pribadi, 19/12/2017)

Hari berikutnya kami menuju ke Tangkuban Perahu, beberapa keluarga kami mempunyai usaha berjualan disana, seperti warung minum dengan berbagai macam jenis minuman, salah satunya yang paling aku suka adalah bandrek yang hangat menenangkan. Selain itu ada aneka gorengan hangat sebagai pelengkapnya. Ada juga yang menjajakan souvenir kepada para tamu dan wisatawan baik asing maupun lokal.

Tiket masuk ke tangkuban perahu antara 20 hingga 30 ribu rupiah perorang, karena lumayan banyak yang berangkat sekitar 9 personil akhirnya Kang Yanto berinisiatif menelpon temannya seorang sopir yang biasa membawa pedagang untuk berjualan dilokasi kawah Tangkuban Perahu. Biasanya kalau menumpang mobil pedagang tidak perlu membayar tiket masuk perorang, hanya mengganti uang bensin dan tiket masuk untuk mobil saja, hanya saja berangkatnya harus pagi-pagi sekali. Untuk mengambil kesempatan itu akhirnya kami berangkat sekitar jam 6 pagi walau badan dalam keadaan dibungkus hawa dingin.

Sebuah aplikasi media sosial sejuta umat yang memperkirakan hujan ringan pada hari ini ternyata benar adanya. Gerimis pun melanda hati, (hehe... seperti lagu saja yang dinyanyikan oleh Erie Suzan) yah... paling tidak seperti itulah suasana jiwa dan raga kami saat berangkat menuju Tangkuban Perahu (mpreettt.... ).

Perjalanan pun dimulai dengan menumpang mobil minibus butut yang sudah terlihat karatan, kacanya sudah tidak bisa dibuka tutup lagi karena lengket dengan badan jendela. Walau demikian kami tetap merasa nyaman menumpanginya. Sesekali sopir me rem mobil dan singgah untuk menaikan pedagang lain. Tetesan air hujan menempel di kaca mobil, terkadang angin membawanya hingga menerpa para penumpang yang membuat serasa tambah membeku saja badan ini.

 Perjalanan selama sekitar 30 menit tak terasa karena selama diperjalanan kami selalu menikmati disetiap detiknya. Ada hutan lindung yang tertata apik, kebun pinus yang berjejer dengan gagahnya, eksotisnya tempat-tempat wisata yang dapat dijumpai dengan mudahnya. Disamping itu merebaknya bisnis outbond yang memberikan banyak tantangan dan menguji adrenalin yang membuat setiap orang terpancing ingin mencobanya.

Saat tiba, gerimis perlahan semakin kuat dan akhirnya hujan, kami yang sedang kedinginan mulai merapat. Sibungsu nampak menggigil, akhirnya kupeluk dan kami bernaung di depan Kantor P3K sambil menunggu hujan reda. Kabut merayap menyelimuti hingga jarak pandang sekitar 2 meter saja. Sinyal ponsel pun turun naik dan terkadang blank, yahh... galau deh aku karena tidak bisa segera memposting poto-poto saat di Tangkuban Perahu, tujuannya bukan untuk ber ria-ria sih, tapi untuk memanas-manasi saudaraku yang saat itu tidak ikut berkunjung ke Cikole karena berhalangan (haha.... akhirnya terpanasi jua, berhasil.. berhasil.... ). 

Tiba-tiba kedua anakku berteriak sambil berjingkrak kesenangan "Yah... Ayah.... lihat mulut Aqila, seperti di Korea saja" kata si sulung sambil menghembuskan napas dari mulutnya yang mengeluarkan asap putih (emang pernah ke Korea ? huh...) si bungsu pun juga mengikuti gerakan dan kata-kata kakaknya dengan bahasa yang masih belum jelas, hehe...

Perlahan angin berhembus membawa kabut. Kami kembali keluar dari peraduan dan berbaur dengan pengunjung lain. Untuk mengabadikan setiap moment yang kami lalui tidak lupa aku selalu menyiapkan tongsis mahalku (apa ? mahal ? wkwkwkkk....). "Ibu.... mana ibu....", aku mulai sibuk mencarinya. "Itu Ibu .... " kata Kang Yanto sambil menunjuk kearah warung dimana ibu berada. "Astaga..... hampir saja aku kehilangan ibu" gumamku dalam hati.

Kami menyusul ibu yang sedang duduk disebuah warung, beliau sedang asyik bercengkerama dengan pemilik warung yang notabene adalah keluarga kami. Acara salam-salaman dan berpelukan ala Teletubes pun dimulai (berpelukaaannn.....). Haha.... rasanya tidak ada yang melebihi rasa gembira kami pada saat itu.

Ada Kang Ntis yang sedang sibuk mengipasi bara arang untuk memanggang jagung, ada Kang Jajang yang sedang asyik menjajakan sovenir, si Nneng yang juga sedang merapikan meja dan menyusun aneka jualannya. Saat kami ditawari mau minum dan makan apa, semua pada sibuk meminta  dan berebut ingin paling duluan, saya minta bandrek sebagai menu utama, yang lain ada yang minta teh hangat dan ada juga yang mau kopi. Tidak lupa pisang goreng panas untuk mengganjal perut, bahkan mi instant rasa soto pun jadi sasaran untuk mengusir dingin yang sedang melanda badan. Wow... sepertinya semua pada kelaparan, jangan-jangan kalau disuguhi rumput pun dimakan juga, wuahahahaaa.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun