Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah Jadi Tentara

7 Desember 2017   13:32 Diperbarui: 29 Oktober 2019   14:12 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ayah lahir tahun 1937, usia beliau sekitar 9 tahun saat Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Ayah merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Beliau anak yang kuat, ulet, dan pekerja keras. Setelah menamatkan sekolah di Sekolah Rakyat (SR) ayah fokus membantu orang tua untuk mencari nafkah buat keluarga. Bertani, menyadap getah pohon karet, berkebun, dan berbagai macam usaha lainnya. Segala yang dikerahkan oleh Ayah baik tenaga, pikiran, dan badan untuk meningkatkan ekonomi keluarga ternyata tidak sia-sia karena telah membuahkan hasil. Dan keluarga Ayahpun mulai sejahtera sehingga di kampung keluarga Ayah termasuk orang yang berada. Tidak hanya keluarga Ayah, kehidupan pendudukpun  mulai merangkak ke level dua. Walaupun jauh dari kondisi sejahtera tetapi hasil panen pertanian melimpah dan mampu mengatasi krisis ekonomi yang melanda.

Disisi lain, keadaan tersebut ternyata dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak punya rasa iba untuk mengambil manfaat dari para penduduk. Hasil panen dijarah, rumah-rumah dirampok, pemerkosaan dan pembunuhan tidak terkendali. Bahkan banyak penduduk yang harus merelakan nyawanya dicabut secara paksa demi mempertahankan kehormatan diri dan keluarga.

Penduduk mulai merasakan resah, termasuk keluarga ayah. Untuk mencari makan saja sangat susah. Jangankan beras, singkong saja menjadi barang yang langka. Tidak jarang nenek memasak nasi yang harus dicampur dengan singkong agar rasa kenyang tetap terjaga. Selain itu untuk menghemat persediaan makanan yang semakin hari semakin susah didapat. Tanaman gadung beracun pun akhirnya menjadi alternatif pengganti nasi. Ubi tanaman Gadung dikupas, kemudian umbinya dicincang kasar dan direndam di air mengalir selama beberapa hari untuk menghilangkan getahnya yang mengandung racun, kemudian dijemur hingga kering layaknya beras. Kata ayah, rasanya tawar dan dan ada aroma tidak enak yaitu bau busuk. Tapi cukuplah sebagai pengganti beras yang langka.

Keadaan semakin hari semakin susah. Para penduduk mulai menarik diri dari dunia luar dan lebih memilih untuk mengungsi ketempat yang jauh dan menetap dipedalaman. Termasuk kakek, nenek, ayah dan keluarganya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan menetap di desa Batung yang terletak di pegunungan Meratus. Menuju Desa Batung bukanlah perkara yang mudah, mereka harus menempuh perjalanan satu hari satu malam dengan berjalan kaki melewati hutan rimba dan gunung-gunung. Selama tinggal dan menetap di sana, mereka membuka lahan baru untuk bertani dan berkebun, selain itu mereka juga menyadap getah dari batang pohon karet. Di desa Batung inilah salah satu adik perempuan beliau menikah dan menetap di sana dengan seorang pemuda suku Dayak Meratus.

Setelah beberapa tahun tinggal di pegunungan meratus, ayah dan keluarganya sempat kembali ke kampung halaman, namun situasi di kampung halaman masih mengkhawatirkan dan keluarga ayah memutuskan kembali untuk mengungsi ke Anjir Banjarmasin km 20. Disana kakek dan ayah meramba hutan dan menebang pohon galam untuk membuka lahan baru dengan tujuan memperbaiki kondisi ekonomi yang morat marit. Namun perantauan itu tidak berlangsung lama manakala situasi dan kondisi di kampung Hulu Selatan terdengar kondusif  hingga keluarga Ayah pun kembali lagi ke kampung halaman.

Saat kembali itulah, ada perekrutan prajurit TNI besar-besaran dari pemerintah. Ketika itu ayah berusia sekitar 18 tahun. Kebosanan hidup nomaden dan kerasnya menjalani hidup membuat ayah ikut mendaptarkan diri walau hanya bermodalkan bisa membaca dan menulis saja. Beliau pernah berujar kepadaku “Tidak bakalan juga aku mati masuk TNI”. Dengan berbekal semangat dan tekat yang kuat akhirnya ayah berangkat menuju Ajenrem 101 Banjarmasin. Kemudian ayah dan calon prajurit lainnya diangkut menuju Rindam III / Siliwangi Jl. Tangkuban Perahu Lembang Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kemiliteran. Di sanalah ayah dipertemukan dengan  jodohnya, dia adalah Ibuku.

Ibuku, dia seorang gadis desa yang berkulit putih bersih, parasnya cantik khas wanita Sunda. Ibu tidak menamatkan sekolahnya pada sekolah dasar karena kondisi ekonomi keluarga terpuruk. Agar tidak membebani orang tua, ibu berinisiatif untuk menjajakan barang dagangan berupa makanan dan minuman ringan ke asrama tentara, menjadi buruh kebun, bahkan pernah bekerja menjadi buruh disebuah perusahaan pembuat kain batik. Ibuku juga aktif disebuah grup kesenian pertunjukan wayang golek. Beliau salah satu pesinden terbaik kala itu. Setiap ada pertunjukan banyak sekali prajurit TNI berdatangan nonton bareng, salah satunya adalah Ayahku. Rutinitas itu tidak hanya dilakukan Ibu sendiri, Ibu melakukannya bersama dengan teman-teman satu kampung. Sehingga teman-teman ibu juga banyak yang menikah dengan prajurit TNI yang berasal dari Kalimantan yang pernah ditakuti mereka.

Kok ditakuti sih. Iya, awalnya saat Ibu dan teman-temannya bertemu dengan Ayah dan prajurit lainnya yang berasal dari Kalimantan, mereka lari ketakutan dan bersembunyi. Karena dari kabar yang beredar bahwa orang Kalimantan suka memakan sesama manusia.

Namun sejak menikah dengan Ayah, Ibu meninggalkan semua rutinitas yang selama ini menjadi pundi-pundi rupiah untuk menghidupi diri dan meringankan beban orang tuanya. Ibu lebih fokus mendampingi dan melayani Ayah sebagai istri seorang prajurit TNI Angkatan Darat. Ayah mulai merintis usaha kecil-kecilan di Cikole, ibu diberi modal untuk berjualan sembako dirumah. Ayah mulai bisa membeli tanah yang luas untuk ditanami berbagai sayuran dan punya beberapa ekor sapi untuk diperah susunya.

Kebahagiaan ayah belum lengkap karena hampir 12 tahun ayah dan ibu menikah namun tidak kunjung dikaruniai anak, pengobatan medis dan alami pun dijalani namun ibu tak kunjung hamil juga. Sampai akhirnya ayah mengajak ibu ke Kalimantan untuk mencari pengobatan alternatif lain. Awalnya ibu menolak karena takut. Takut dengan masih beredarnya rumor bahwa orang Kalimantan suka memakan sesama manusia atau kanibal, namun ayah menjelaskan kepada ibu tentang kekhawatirannya. “Kalau takut dimakan ? kenapa mau menikah dengan orang Kalimantan ?” celetuk Ayah.  Akhirnya ibu mengikuti ayah ke Kalimantan kemudian tinggal beberapa hari bersama adik perempuan ayah yang sudah menetap di desa Batung.

Di kawasan Bukit Meratus itulah ayah dan ibu tinggal beberapa minggu untuk menjalani ritual pengobatan  alternatif  ala suku  Dayak Bukit Meratus. Selain itu Ibu diberi sepotong akar pohon hutan untuk dibawa pulang, kemudian akar tersebut direndam dengan air selama satu malam dan diminum setiap hari satu kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun