Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jofin Lahir

23 November 2017   14:39 Diperbarui: 29 Oktober 2019   14:18 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa hari ibu mengeluh sakit perut, rupanya tanda-tanda dia akan melahirkan sudah muncul, namun malangnya tidak ada satu keluargapun yang mendampingi, termasuk Ayah. Karena Ayah masih menjalankan tugasnya di Bandung sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Hingga beberapa jam kemudian beliau tidak sanggup lagi bergerak, beliau hanya berbaring di atas selembar tikar yang terbuat dari rumput purun sambil meringis kesakitan.

Sementara di luar rumah, adik ipar ayahku namanya Minah berulang kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil Ibu, namun tidak terdengar ada suara yang menyahut dari dalam. Akhirnya Minah masuk ke dalam rumah dan melihat kondisi ibu sudah memelas tak berdaya. Mengetahui ibu akan melahirkan dia kaget dan mulai panik “astaga... astaga... astaga...” gumamnya sambil mengambilkan bantal untuk ibu. “Teteh mau melahirkan ya ?” Ibu hanya mengangguk dan meringis pilu. Tanpa pikir panjang Minah berpamitan pada ibu untuk menjemput dukun beranak yang ada di kampung seberang.

Ibu terus saja meringis, sepertinya bayi akan segera keluar, bahkan rambut tipis dikepalanya sudah terasa saat diraba oleh Ibu, merasakan hal tersebut Ibu mengejan sekuat tenaga dan tiba-tiba saja seorang bayi terpental hingga terbentur dinding rumah. Kejadian itu tepatnya tanggal 02 April tahun 1978.

Setengah jam kemudian Minah datang bersama seorang perempuan setengah baya, dia biasa dipanggil Uma Darkuni, seorang dukun beranak yang sudah terkenal dari kampung ke kampung karena kepiawaiannya menolong orang melahirkan. Dia menghampiri ibu dan kaget melihat seorang bayi tertelungkup di lantai rumah yang hanya beralaskan tikar dari rumput purun. Dukun beranak rersebut langsung menghampiri bayi mungil yang lemas tak berdaya. Dia mengulurkan tangan dan mengangkat serta merangkulnya kemudian menutupnya dengan kain batik priangan yang sebelumnya sudah disediakan oleh ibu. Kata ibu, batik itu memiliki motif sederhana, selaras, dan pantas digunakan untuk siapa saja. Sehingga nantinya diharapkan sang anak memiliki sifat sederhana, selaras, dan mampu menjalani hidup dimana dan dengan siapa saja.

Bayinya memang sedikit lain dari kebanyakan bayi yang baru dilahirkan. Biasanya bayi yang baru dilahirkan berkulit nampak kemerahan, namun bayi yang satu ini berwarna gelap keunguan seperti tongkol / jantung pisang. Bayi itu adalah aku, aku dilahirkan tanpa seorang bidan juga tanpa ada yang mendampingi.

Di sebuah rumah mungil di Kalimantan Selatan, tepatnya di desa Hulu Selatan Kecamatan Sungai Raya Kabuapaten Hulu Sungai Selatan, aku dibesarkan bersama tiga orang kakaku, Anwar 10 tahun, Imas 7 tahun, dan Halimatus 1 tahun. Mereka dilahirkan di Desa Cikole Kabupaten Lembang Jawa Barat sedangkan aku dilahirkan di Kalimantan. Banyak sekali perbedaan antara aku dan ketiga kakaku, yang paling mencolok adalah warna kulit, ketiga kakaku warna kulitnya seperti ibu, putih bersih seperti kulit telur, sedangkan warna kulitku hitam seperti pantat rinjing (kuali). “Kalau bukan orang, ingin rasanya kubuang saja” canda ibu sambil terkekeh.

Tahun 1980, usiaku sekitar dua tahun, saat itu aku bermain-main di bawah pohon cengkeh di halaman rumah kakek, dari kejauhan nampak seorang lelaki berseragam tentara, aku tidak memperdulikannya karena aku tidak tau siapa dia, mungkin sudah lumrah kalau anak tentara dimasa kecilnya selalu gagal mengenali siapa ayahnya. Dia menghampiriku sambil tersenyum manis, tangannya meraih dan menggendongku kemudian mengangkat aku ke atas bahunya sambil menuju ke rumah kakek.

"Ayah datang......" teriak Kak Imas berkali-kali sambil berjingkrak kegirangan.

Sontak saja teriakan tersebut mengundang perhatian keluarga besar kami dan tetangga. Saat itulah, pertama kali aku mendengar kata Ayah dan bahkan belum mengerti Ayah itu apa dan siapa. Lelaki dengan seragam berwarna kacang hijau itu berjalan membawaku masuk ke dalam rumah kakek. Ayah langsung disambut oleh Kakek dan Nenek serta keluarga lainnya. Sementara itu tetangga dekat juga tidak kalah hebohnya, mereka ikut merasakan kegembiraan atas kedatangan Ayah, bahkan beberapa tetangga ada yang membawa makanan untuk Ayah. Satu hal yang pernah kuingat, ada seorang ibu memberi pepes sulur keladi yang dicampur dengan pucuk keladi (talas) kepada kami, pepes tersebut sudah merupakan makanan lezat dan wah di kampung kami. Dengan lahap aku bersama kakak Halimatus memakannya karena kami jarang makan enak. Tetapi tanpa diduga, setelah selesai menghabiskan makanan, ada muncul rasa tidak enak di lidah dan tenggorokan, ingin saja rasanya aku menggaruk tetapi bingung bagian mana yang harus digaruk, aku hanya bisa menangis dan meringis menahan gatal dari getah pucuk daun keladi yang ternyata memasaknya tidak melalui proses perebusan terlebih dahulu.

Ayah duduk diatas lantai dengan melipat kaki dan menyilangkannya. Aku didudukkan diatasnya sementara tangan ayah memeluk badan mungilku. Keluarga besar ayah juga duduk, lesehan dan membentuk lingkaran diatas lantai kayu. Mereka bercengkerama sambil mendengarkan cerita Ayah yang penuh liku. Namun, Sejak itu Ayah tidak pernah kembali ke Lembang lagi dan tinggal bersama kami di rumah. Rupanya, itu adalah hari terakhir ayah sebagai prajurit TNI AD, dan beliau telah pensiun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun