Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Operator Sekolah (OPS) Pahlawan yang Tak Dianggap

29 April 2014   04:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_305006" align="aligncenter" width="350" caption="http://classroomclipart.com/clipart-view/Clipart/Health/headachaefinal_jpg.htm"][/caption]

“OPStinggal nunggu mati……..PAHLAWAN YANG TAK DIANGGAP”. Itulah sebuah tulisan dari seseorang bernama “RN” pada sebuah grup di salah satu media sosial yang sempat kubaca, dan status tersebut mendapat komentar dari “mungkin” OPS lain. EW : Nasib OPS di negeri ini sama saja. MGEH : tetap berjuang….sampai pada tuntutan : HARGAI ATAU BOIKOT DATA !!!

Sebagai operator sekolah dadakan, tentunya aku merasakan bagaimana getirnya mengemban tugas sebagai operator sekolah. Kenapa kubilang aku adalah operator sekolah dadakan, karena kemungkinan aku adalah satu-satunya guru Pendidikan Agama Islam dari instansi Kementerian Agama yang diberi tugas oleh kepala sekolah untuk menjadi operator sekolah pada sekolah dasar di bawah naungan Kemendikbud. Alasannya apalagi kalau bukan karena guru-guru di sekolahku masih gaptek, disamping itu usia mereka yang tergolong sudah tidak muda lagi menjadi pemicu malas bergaul dengan internet bahkan angkat tangan.

Sebenarnya kepala sekolah bisa saja mencari tenaga honor untuk diperbantukan menjadi operator sekolah, namun karena aku bersedia menjadi operator sekolah, jadi sekolah tidak memerlukan tenaga dari luar.

Seiring berjalannya tugas menjadi OPS, banyak hal-hal yang kutemukan, suka duka menjadi operator sekolah mulai kurasakan. Setiap ada program baru dari kemendiknas, aku selalu diikutkan dalam pelatihan dan sosialisasi, dari mulai Padamu Negeri, Dapodikdas, bahkan ternyata tugas akan bertambah, yaitu pengisian data sasaran kerja pegawai (SKP), dan pelaporan dana BOS online. Di samping itu, aku bertemu dengan wajah-wajah muda operator sekolah yang rata-rata mereka pegawai honor, usia mereka jauh dibelakangku, bahkan banyak yang masih kuliah. Jadi aku OPS tertua diantara mereka.

Upah yang minim menyebabkan OPS berteriak histeris karena tidak sepadan dengan apa yang dikerjakan. Kalau hanya sekedar input data mungki bisa diperbaiki, tetapi bagaimana jika proses pengiriman data dengan cara sinkronisasi mengalami kendala, walaupun sudah dilakukan dengan berbagai macam cara tetap saja gagal, gagal dan gagal lagi. Semua itu membuat operator sekolah garu-garuk kepala meskipun tidak gatal, akhirnya untuk mencari celah-celah agar bisa masuk server pusat, begadang pun dilakukan OPS.

Namun, sangat disayangkan, kebanyakan guru tidak memahami dan bahkan tidak mau mengerti bagaimana susahnya menjadi OPS. Orientasi mereka hanya pada “uang sertifikasi keluar”, kalau tidak, maka OPS lah yang menjadi sasaran emosi, alhasil umpatan dan cacian pun tidak luput OPS dapatkan.

Upah Rp. 300.000,- / triwulan, itulah yang aku terima selama menjadi OPS, dan itupun disisihkan dari dana BOS yang notabene untuk biaya internet. Jadi tidak ada nggaran khusus untuk menggaji OPS.

Kalau dihitung-hitung jumlah Rp. 300.000,- habis hanya untuk membeli kouta internet bahkan aku sering mengeluarkan uang pribadi buat menutupi kekurangannya. Dan aku yakin apa yang kualami tidak jauh berbeda dengan OPS-OPS lain, bahkan dari informasi yang kudapatkan tidak sedikit OPS yang menggunakan laptop pribadi dan membeli modem sendiri.

Sungguh ironis, hidup mati sekolah ada di tangan operator sekolah, namun sangat miris karena sepertinya OPS terpinggirkan dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah dengan minimnya upah mereka.

Bagiku seorang Aparatur Sipil Negara, tidak ada kesulitan yang berarti dalam pengisian maupun pengiriman data. Bahkan upah yang minim pun tidak aku pikirkan, hanya satu tujuanku yaitu ikhlas dan tulus membantu guru-guru di sekolah tersebut, agar administrasi sekolah dan guru dapat berjalan dengan lancar dan tanpa ada masalah.

Namun, bagaimana dengan OPS honor, apakah pengorbanan mereka hanya dihargai dengan Rp. 300.000,- / triwulan. Tentunya mereka tidak dapat disamakan denga seorang PNS yang merangkap OPS seperti aku. Karena walaupun honor mereka juga punya tugas dan kewajiban yang sama.

Di sisi lain, menjadi OPS tidak hanya persoalan materi, tetapi lebih dari itu, yaitu beban mental, yah….beban mental, itulah yang sampai saat ini menjadi pertimbanganku untuk mengundurkan diri menjadi OPS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun