Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Operator Sekolah Kusayang Operator Sekolahku Malang

11 September 2014   15:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:01 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1398695383624215799

[caption id="attachment_305006" align="alignleft" width="270" caption="classroomclipart.com"][/caption]

Disuatu siang hari, tiba-tiba ponselku berbunyi, kutatap layar hp yang menyala monocrom, nampak nomor yang tidak aku kenal sedang memanggil. Kutekan tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau, kemudian terjadilah pembicaraan.

“Begini, Pak, operator saya mengundurkan diri, saya kebingungan mengelola dapodik, saya mau minta tolong sama bapak untuk mengelola dapodik sekolah kami”

“Aduh, Pak, bukannya tidak mau membantu, tapi dapodik di sekolah saya belum rampung. Apalagi sekarang harus mengaktifkan dan mencetak kartu NUPTK para PTK di Padamu Negeri, bagaimana kalau saya mendampingi bapak saja mengelolanya”

“Nggak, pokoknya saya menunjuk kamu jadi operator sekolah saya”

“Aduh, Pak.... gimana ya....”

Setelah terjadi perbincangan yang cukup alot, akhirnya atas dasar kemanusiaan dan rasa iba dengan kepala sekolah yang ditinggal operatornya tersebut aku mengiyakan mengelola Dapodik dan sekaligus Padamu Negeri.

Keesokan harinya kepala sekolah datang ke rumahku menyerahkan laptop, data-data siswa dan PTK. Selama hampir satu minggu, aku menginput data siswa baru dan mengupdate data-data siswa dan PTK hingga selesai, aku sempat sakit karena kurang istirahat. Namun karena tanggung jawab yang begitu besar yakni menyangkut masa depan sekolah dan para PTK, akhirnya selesai juga dan berhasil melakukan sinkronisasi.

Sesi kedua saatnya mengaktifkan dan mencetak kartu NUPTK, kemudian siap-siap dengan EDS siswa yang sudah menanti. Oke deh lagi-lagi aku begadang ria hingga akhirnya kartu PTK berhasil dicetak semua.

Keesokan harinya beliau datang ke sekolahku dan mengambil kartu NUPTK yang telah kucetak, dan bilang begini: “ini untuk beli internet” sambil menyodorkan uang Rp. 200.000,-

“Terima kasih ya” lanjutnya sambil bersalaman

Agak kaget sih, “kok hanya buat internet” gumamku dalam hati, tapi ya sudahlah, tidak apa-apa, namanya juga membantu atas dasar keikhlasan, jadi uang segitu tidak aku pikirkan. Namun, dari kejadian tersebut membuat aku cukup lama merenung, “pantas saja operator sekolahnya mengundurkan diri, hmmmmm.........”

Bukan masalah jumlah uang yang diterima, bukan masalah ikhlas atau tidaknya, bukan mengeluh, dan bukan pula soal mematok bayaran. Hanya saja terkadang pengorbanan OPS tidak sebanding dengan honorarium yang diberikan, hingga niat membantu dengan ikhlas terkesan diremehkan.

Mengabdi bukan berarti tidak butuh duit, butuh duit bukan berarti mata duitan. Kalau memang OPS dituntut untuk mengabdi tanpa pamrih, perlu dipertanyakan, pegawai honorer menuntut diangkat jadi PNS untuk apa ? pencairanuang sertifikasi terlambat satu atau dua bulan saja demo, ngomel-ngomel terus, e..e...malah OPS yang jadi sasaran emosi, bukankah katanya mengabdi ? toh ujung-ujungnya mengeluh juga kalau tunjangan sertifikasinya tidak dibayar. Jadi, dalam hal ini, seharusnya kita bisa membedakan, mana yang namanya mengeluh, mana yang namanya menuntut hak yang layak sesuai dengan kinerja.


Beruntungnya OPS adalah makhluk kasar ciptaan Tuhan (maksudnya bukan makhluk halus :-D). Coba saja bayangkan, seandainya OPS made in Jepang, Korea atau rakitan Cina, pastilah sudah terpreteli satu persatu. Tentunya sebagai manusia ciptaan Tuhan, tidak ada kata memory over load, baterai risk, dan banyak masalah lainnya. Hanya cukup dengan secangkir kopi dan beberapa potong kue sebagai pengganjal perut, OPS tetap bertahan di depan laptop.

Sebagai tenaga profesional, tentunya OPS tetap bekerja keras dalam melaksanakan tugas walau hingga larut malam. Letih, lesu, dan kurang bersemangat tidak ada dalam kamus hidup OPS.

Terus berjuang demi kesejahteraan OPS yang lebih baik :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun