Kemarin saya menulis tentang "Merauke oh Merauke" dan diposting pada halaman FB, di dalamnya saya mengulas terkait dengan kondisi pembacokkan atau pemotongan yang kian marak dilakukan oleh anak-anak remaja & pemuda di kabupaten Merauke. Rupanya, tadi pagi (05.16 WIT) saat menuju ke pasar Wamanggu, dari rumah saya melewati jalan raya Mandala dan jalan Aru, tiba-tiba ada seorang pemuda membawa sajam dan berdiri dipinggir jalan, sementara 3 orang temannya tertawa ketika ia ayunkan parang sambil melihat sekitarnya. Seakan-akan mereka menikmati 'tarian parang' yang dimainkan oleh teman satu ini. Tetapi para pengandara motor dari arah GOR segera berbalik arah dan mereka tidak ingin ambil resiko melewati jalan Aru.Saya cukup berani karena menggunakan mobil, sehingga kalaupun dia mau membacok minimal masih aman di dalam mobil.
Rupanya apabila saya memberikan status bagi kabupaten ini, maka statusnya adalah "Merauke Darurat Sajam". Sebab bukan saja dibawa oleh orang-orang yang niatnya melakukan kejahatan, tetapi masyarakat umum yang membawanya untuk sekedar berjaga-jaga dan perlindungan diri semata.
Seperti janji saya pada tulisan sebelumnya, sehingga ditulisan ini juga saya ingin berbagi mengenai bagaimana sebuah teori kriminal khususnya Psychological Explanations for Criminal Behaviour (Penjelasan psikologi tentang perilaku kriminal). Setelah itu pada tulisan lanjutan saya akan memberikan gambaran juga terkait bagaimana Sociological Explanations for Criminal Behavior. Dasar teori ini saya ambil dari sebuah buku berjudul Theories of crime edited by Ian Marsh. Sedangkan terkait dengan kejahatan atau perbuan kriminal yang dilakukan oleh para remaja dan pemuda dapat dijelaskan dengan menggunakan referensi dari  Sheila Brown dengan judul tulisannya Understanding youth and crime 2nd edition.
Marsh menjelaskan bahwa selama berabad-abad, para psikolog telah mengeksplorasi berbagai penjelasan untuk perilaku kriminal, termasuk faktor genetika dan lingkungan. Para psikolog untuk menjelaskan perilaku kriminal, seperti kepribadian, faktor sosial, dan kognisi. Meskipun ada teori-teori ini, tetapi belum ada jawaban pasti yang diberikanterkait faktor-faktor apa saja yang sangat memengaruhi perilaku kriminal. Banyak sekali Label yang dihasilkan untuk menggambarkan penjahat sebagai orang yang memiliki ciri-ciri karakter tertentu, seperti psychos or psychopathsp (psikopat). Menurut Marsh, Label-label ini dikembangkan oleh para psikolog untuk memahami berbagai kategori kepribadian. Meskipun tidak semua penjahat memiliki karakteristik yang sama, tetapi banyak yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama. Faktor situasional dan perkembangan berkontribusi terhadap kriminalitas, tetapi ada juga unsur psikologis yang unik dalam aktivitas kriminal.
Marsh mengutip salah satu teori yang cukup terkenal oleh Hans Eysenck terkait cognitive behavioural theories. Inti dari teori ini adalah bahwa Eysenck percaya keterampilan kognitif yang buruk diturunkan dari generasi ke generasi, yang memengaruhi kemampuan individu untuk menghadapi situasi eksternal, khususnya yang melanggar hukum. Interaksi antara pengondisian sosial yang buruk dan ketidakmampuan untuk memahami pengondisian tersebut menciptakan kepribadian kriminal. Lebih lanjut teori kejahatan Eysenck menjelaskan kepribadian kriminal adalah sebuah hasil dari interaksi antara tiga ciri psikologis utama: neurotisisme (N), ekstroversi (E), dan psikotisisme (P). Neurotik adalah individu yang menderita kecemasan dan tampak "gugup" dan "murung." Dimensi introvert-ekstrovert menggambarkan introvert sebagai orang yang pendiam dan menarik diri, sementara ekstrovert bersifat terbuka dan impulsif. Psikotisisme dicirikan oleh emosi yang buruk, mencari sensasi, dan kurangnya empati secara umum terhadap orang lain. Patut dicatatat bahwa hubungan antara ketiga dimensi kepribadian ini dianggap sebagai esensi dari kepribadian kriminal.
Selain kondisi kognisi yang buruk yang ditandai dengan 3 ciri psikologis utama, Marsh juga menggunakan teori dari Sigmund Freud yakni Psychodynamic theories.Ini adalah teori awal utama yang berupaya menjelaskan perilaku kriminal. Freud percaya bahwa sebagian besar perilaku sadar kita ditentukan oleh pengaruh bawah sadar, dengan pikiran yang memiliki struktur kompleks yang dibangun melalui berbagai tahap perkembangan. Ia mengidentifikasi tiga elemen kunci pikiran: id, ego, dan superego.
Teori lainnya adalah Behaviourist theories. Behaviorisme adalah sebuah pendekatan alternatif terhadap teori psikodinamik yang menyatakan bahwa perilaku kita merupakan hasil dari perilaku yang dapat diamati dan dipelajari. Pendekatan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara 'kita' (non-penjahat) dan 'mereka' (penjahat) dan bahwa saat kita berkembang dan berinteraksi dengan orang lain, kita mempelajari cara bertindak yang berbeda. Â Teori ini, yang dimulai dengan karya Ivan Pavlov pada awal abad ke-20, berfokus pada interaksi antara seseorang dan lingkungannya, bukan pada kekuatan dalam diri seseorang. behaviorisme juga dikembangkan oleh para peneliti seperti John B. Watson, yang berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan berbagai refleks stimulus respons bawaan dan bahwa melalui pembelajaran melalui asosiasi, manusia dapat mengembangkan rantai perilaku yang semakin kompleks. Ide-ide behavioris ini, bersama dengan Freud, meletakkan dasar bagi teori-teori kriminologi yang penting.
Dengan melangkah lebih jauh, Marsh mengutip Burrhus Skinner, seorang peneliti Universitas Harvard dari tahun 1930 hingga 1935. Ia adalah seseorang yang memelopori analisis perilaku, dengan fokus pada perilaku operan dan konsekuensinya. Skinner mengidentifikasi dua jenis kontingensi: penguatan dan hukuman, yang kemudian digunakan untuk mengembangkan teori asosiasi diferensial guna menjelaskan perilaku kriminal. Ahli teori asosiasi diferensial menyatakan bahwa faktor latar belakang individu dan isyarat lingkungan pada saat kejahatan terjadi merupakan dua jenis kondisi yang mungkin menyebabkan kejahatan terjadi.
Yang menarik juga dari berbagai teori yang diutarakan oleh Marsh, ada sebuah teori kejahatan yang disodorkan kepada kita yakni Media aggression theories. Hipotesis agresi media menunjukkan bahwa perilaku kriminal dapat dipelajari melalui paparan kekerasan, seperti televisi atau video game. Penelitian difokuskan pada peningkatan jangka pendek dalam tindakan agresi kecil pada anak-anak, tetapi beberapa penelitian juga telah meneliti efek jangka panjang pada kekerasan kriminal. Pandangan saat ini adalah bahwa kekerasan yang difilmkan memiliki efek signifikan kecil pada penonton, tetapi berbagai faktor dapat berinteraksi dengan efek media pada agresi. Faktor-faktor seperti kekerasan yang dibenarkan, dan pencapaian pendidikan yang rendah (low of cognitive) juga dapat memengaruhi interaksi tersebut.
Teori terakhir yang ditunjukkan oleh Marsh adalah Psikologi kognisi. Menggunakan penelitian dari Yochelson and Samenow (1976) bahwa para pelaku kejahatan yang sering melakukan kejahatan mengalami apa yang dinamakan "kesalahan berpikir". Mereka mengira bahwa dengan membacok atau membunuh akan membuat mereka menjadi tenar dan terkenal ataupun mereka mendapatkan kepuasan diri dan pengakuan status sosial.
Kesalahan kognisi diyakini berakar pada masa kanak-kanak, dengan hubungan dengan orang tua memainkan peran penting dalam memperoleh gaya berpikir yang cacat ini. Ross dan Fabiano (1985) mengembangkan teori berbasis kognitif yang menekankan peran pola pikir yang buruk dalam perilaku kriminal dan menyalahkan pelaku atas tindakan melawan hukum secara tegas.
Dari berbagai penjelasan teori di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa hal-hal tersebut juga yang mungkin semantara dialami oleh para remaja dan pemuda di Kabupaten Merauke sehingga hal ini berkorelasi langsung dengan meningkatkan kejahatan dengan menggunakan sajam.