Situs media sosial, misalnya Instagram, TikTok dan Snapchat, bisa menjadi jalan umum bagi cyberbullying (perundungan siber).
***
Beberapa orang berpendapat bahwa shame (tindakan mempermalukan) bisa menjadi sebuah sarana yang kuat untuk perubahan ketika digunakan melawan tokoh dan institusi yang kuat.
Tetapi ketika shame dijadikan senjata untuk melawan orang lain di ruang digital bersama, taktik yang sama ini bisa berubah menjadi perilaku berbahaya, misalnya perundungan siber atau pelecehan daring.
Pemberian julukan, penghinaan, atau intimidasi bukanlah hal baru, namun hal barunya adalah kemampuan internet untuk memperkuat dan mendokumentasikan pesan-pesan secara permanen.
Sarana itu sekarang berada di tangan kebanyakan anak muda: Sebuah laporan pada 2020 oleh Cyberbullying Research Center (Pusat Penelitian Perundungan Siber) menunjukkan bahwa 95 persen remaja AS daring, sebagian besar remaja (usia 9 hingga 12 tahun) memiliki gawai pribadi dan 9 dari 10 di antara gawai-gawai itu menggunakan media sosial atau aplikasi game dalam 1 tahun terakhir.
Berikut ini rekomendasi para ahli mengenai cara membimbing anak-anak dan remaja melalui lanskap digital itu.
1. Pikirkan sebelum Anda Memposting.
Di era digital, apa yang kita bagikan bisa menjadi permanen. Ini juga merupakan cara menampilkan diri kita kepada orang lain, kata pakar keamanan web Nancy Willard, penulis Cyberbullying and Cyberthreats (Perundungan Siber dan Ancaman Siber). Singkatnya, pertimbangkan apa yang dikatakan oleh jejak media sosial Anda tentang diri Anda.
"Tuliskan kata-kata kunci yang Anda ingin orang lain gunakan ketika mereka menggambarkan Anda," kata Willard. "Lalu, ketika Anda memposting sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, "Apakah tulisanku mencerminkan kualitas-kualitas dalam kata-kata kunci itu?"