Apakah Anda tidak bisa berhenti daring dan membeli barang yang tidak Anda butuhkan? Dorongan untuk berbelanja secara berlebihan adalah godaan terus-menerus bagi banyak orang, dan stres akibat Covid-19 bisa memicu kecanduan belanja daring (online shopping).
Sejak terjadinya pandemi, jutaan orang beralih ke internet untuk memesan bahan makanan, perlengkapan rumah tangga, dan barang-barang lain yang biasanya mereka beli secara langsung atau luring.
Ponsel dan laptop menjadi surga perdagangan, tetapi bagi sebagian orang, belanja daring bisa dengan mudah berubah dari sebuah strategi konsumen yang nyaman menjadi sebuah perilaku yang berlebihan dan berbahaya.
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders/DSM), buku pegangan untuk diagnosis gangguan kesehatan mental yang digunakan oleh para profesional perawatan kesehatan di AS, tidak secara resmi mengklasifikasikan kecanduan belanja (atau, lebih teknis, "pembelian kompulsif" atau "oniomania") sebagai sebuah kelainan.
Â
Akan tetapi, para profesional telah mengenali oniomania sebagai sebuah masalah selama lebih dari 1 abad. Psikiater Jerman berpengaruh, Emil Kraepelin pertama kali menggambarkan oniomania pada awal 1900-an.
Pembelian kompulsif semakin mudah dilakukan dengan munculnya komputer. Sekarang ini, survei menunjukkan bahwa 6 persen orang Amerika berjuang untuk mengendalikan pengeluaran mereka, dan banyak yang lebih suka membeli melalui internet. "Belanja online itu mudah," kata Melissa Norberg, profesor psikologi di Universitas Macquarie di Australia, "Semua bisa dilakukan di rumah, dan karenanya Anda terjebak di sana. Lihat saja apa yang ditawarkan oleh Amazon."
Pembelian yang Problematik
Tentu saja, kita semua memanfaatkan Amazon dan sejenisnya sekarang dan nanti. Seperti perilaku apa pun, perilaku ini ada pada sebuah spektrum. Jadi, bagaimana Anda tahu kapan Anda telah mencapai titik ekstrem?
Kecanduan belanja daring lebih dari menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menjelajahi Web. Itu adalah keasyikan yang konstan, dorongan yang luar biasa untuk berbelanja, dan tepatnya berbelanja. Kepuasan yang diperolah berasal dari proses, bukan dari kepemilikan barang yang dibeli itu sendiri.
Kepuasan seperti itu terpisahkan dari tujuan praktis pembelian. Dalam ulasan 2015 dari penelitian tentang pembelian kompulsif, para penulisnya menulis bahwa pasien melaporkan bahwa mereka "jarang atau tidak pernah menggunakan barang yang dibeli."
Bisa diduga, kenikmatan mendapatkan sepatu dan peralatan dapur yang berlebihan akan cepat berlalu.
"Tak lama setelah mereka melakukan pembelian, mereka sering merasa sangat tidak enak," kata Norberg.
Rasa malu dan kecewa ini adalah ciri lain dari sebuah kebiasaan yang tidak sehat, yang juga menyuburkan kebiasaan itu, sebuah siklus penguatan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!