Penelitian baru mengindikasikan bahwa organ-organ tubuh yang berada di bawah tekanan bisa menarik penyerang-penyerang dari sistem imun.
Ketika Decio Eizirik mulai merawat pasien dengan diabetes tipe 1 pada 1980-an, dia cukup yakin tentang apa yang ada di balik penyakit itu, yaitu sebuah sistem imun yang rusak. Orang-orang dengan diabetes kekurangan insulin, sebuah hormon penting, karena sel-sel beta di pankreas, pabrik insulin tubuh, sedang diserang dan dihancurkan oleh sel-sel sistem imun.
Saat itu, gagasannya adalah bahwa jika sistem imun bisa dikendalikan, mungkin diabetes bisa dicegah.
Ini adalah model klasik dari sebuah kelainan autoimun: sel-sel pelindung yang beralih menyerang sel-sel yang mirip. Meskipun perawatan dengan insulin tambahan bisa membuat penderita diabetes tetap hidup, serangan imun pada sel-sel beta yang tidak bersalah menjadi akar masalah. Sel-sel beta itu menjadi seperti jenazah di sebuah rumah duka.
Akan tetapi, sekarang sel-sel beta itu tidak lagi terlihat begitu tidak bersalah, dan sistem imun tampak seperti disalahkan seacara tidak adil.
Selama beberapa dekade, Eizirik dan sejumlah peneliti lain telah menjadi yakin bahwa sel-sel beta itu benar-benar bisa memicu penyakit diabetes.
Cara pemicuan oleh sel-sel beta mulai muncul pada akhir 1990-an, ketika Eizirik mengukur tingkat-tingkat sinyal kimia dari sel-sel dalam pankreas.
Eksperimen-eksperimen tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu, sel-sel beta menghasilkan bahan-bahan kimia inflamasi sendiri, yang bertindak sebagai suar-suar yang menarik perhatian dan kemarahan sel-sel sistem imun.
Belum jelas, persisnya apa yang memicu suar-suar ini, bisa jadi karena sebuah infeksi virus atau semacam stres yang merusak, tetapi eksperimen-ekperimen ini dan eksperimen-ekperimen yang lebih baru oleh beberapa ilmuwan lain sangat menyarankan bahwa sel-sel beta memainkan sebuah peranan yang aktif.
"Semuanya dimulai pada jaringan target," kata Sonia Sharma, seorang ahli imunologi Institut Imunologi La Jolla di Kalifornia, "apa yang kita ketahui sekarang adalah bahwa jaringan target bukan hanya sebagai pengamat, tetapi juga peserta aktif dalam inflamasi yang merusak."
Diabetes tipe 1 hanyalah salah sebuah penyakit autoimun, tetapi sekarang bukti mulai menunjukkan bahwa target-target seluler lain pada penyakit lain dengan sendirinya juga bisa menyebabkan kematian.
Kajian-kajian genetik terbaru menunjukkan bahwa sel-sel pada penderita artritis rematoid dan multipel sklerosis memiliki gen-gen yang terlalu aktif, yang mengkodifikasi protein-protein terkait penyakit-penyakit itu, dan sel-sel imun tertampung dalam target-target tersebut.
Sharma mengatakan mungkin ada 10 langkah di antara sebuah peristiwa penginisiasi dan serangan akhir pada jaringan target oleh sel-sel sistem imun. "Kami telah melihat langkah ke-10, sedangkan kami harus melihat langkah pertama, ke-2, ke-3, dst." katanya. "Ini hampir seperti kami telah bekerja mundur. Jika para peneliti bisa memahami langkah-langkah awal tersebut, itu bisa mengarah pada perawatan, penyembuhan, atau bahkan tindakan yang lebih baik untuk mencegah penyakit."
Sulit untuk menyalahkan para peneliti karena pada awalnya berkonsentrasi pada akhir sistem imun itu. Penyakit-penyakit autoimun tampak seperti pengkhianatan oleh sistem pertahanan yang sangat canggih yang ber-evolusi bukan hanya untuk melindungi kita dari patogen-patogen yang menginvasi, tetapi juga untuk memantau ancaman sel-sel yang akan berubah menjadi kanker dan untuk membersihkan sel-sel setelah cedera.
Itu adalah penjaga dalam tubuh kita yang berdiri di antara kita dan kekacauan, dan jelas merupakan bagian penting dari sistem imun, terutama sel B dan sel T, pemain-pemain kritis dalam penyakit autoimun.
Perawatan membutuhkan "sebuah pendekatan 2 pukulan" yang ditujukan pada sel-sel ini dan sel-sel target. Sistem imun itu persisten dan memiliki memori seekor gajah. Setelah belajar mengenali molekul-molekul pada sel-sel target, sel T akan terus datang kembali.
Agen Penghancuran Diri
Kebanyakan penelitian selama 50 tahun terakhir berfokus pada ciri klasik penyakit autoimun, yaitu autoantibodi. Antibodi adalah protein kecil yang diproduksi oleh sel B dalam sistem imun dan mengikat protein yang disebut antigen yang terdapat pada penginvasi asing seperti bakteri dan virus.
Ketika berikatan dengan cara ini, antibodi menandai penginvasi tersebut untuk selanjutnya dihancurkan. Namun, autoantibodi mengikat apa yang disebut antigen-diri pada permukaan sel-sel kita sendiri. Di sana autoantibodi bertindak sebagai suar-suar pelacak bagi pembunuh terspesialisasi yang disebut sel T sitotoksik, atau sel T pembunuh. Sel T ini adalah agen penghancur yang sebenarnya, sehingga para ilmuwan yang menyelidiki autoimunitas mencari pasangan-pasangan sel T-autoantibodi ini.
Apa yang baru-baru ini diketahui oleh para ilmuwan adalah bahwa walaupun merupakan tanda-tanda sebuah masalah autoimun, lokasi tampaknya lebih penting daripada fakta keberadaan sel T pembunuh dan autoantibodi. Orang-orang yang sehat, misalnya, bisa memiliki sel T ini dalam darah mereka tanpa menjadi sakit.
Pada 2018, ahli imunologi Roberto Mallone dari INSERM di Prancis dan kolega-koleganya menerbitkan sebuah hasil kajian yang membandingkan orang-orang berdiabetes tipe 1, orang-orang berdiabetes tipe 2 (gangguan nonautoimun di mana insulin diproduksi tetapi bekerja buruk), dan orang-orang tanpa diabetes.
Kadar sel T pembunuh dalam aliran darah sangat mirip pada ketiga kelompok itu, termasuk orang-orang nondiabetik. Semua orang memiliki sel T pembunuh. Â
Dengan hasil pengukuran ini, Mallone mengatakan, "kita semua autoimun." Akan tetapi, keadaannya berbeda di pankreas. Di pankreas, Mallone dan kolega-koleganya menemukan keberadaan sel T autoreaktif dengan kadar yang jauh lebih tinggi pada orang dengan diabetes tipe 1.
Mallone, seperti Eizirik pendahulunya, menduga bahwa keberadaan sel T autoreaktif di pankreas bukan kebetulan, tetapi karena sebuah masalah dengan jaringan target, sel beta.
Alasan lain para peneliti mempertimbangkan sel-sel target sebagai pemain utama dalam penyakit autoimun berasal dari kajian-kajian genetik yang telah menunjukkan bahwa gen-gen yang mempengaruhi penyakit-penyakit ini diekspresikan tidak hanya oleh sel-sel imun tetapi juga oleh sel-sel target.
Sejak awal 2000-an, pengurutan lengkap genom manusia memungkinkan untuk melakukan kajian-kajian asosiasi seluruh genom yang mengungkapkan banyak gen yang, ketika bermutasi, bertautan dengan risiko gangguan autoimun yang lebih tinggi.
Gen-gen tersebut bukan hanya muncul dalam sel B atau sel T, tetapi juga dalam sel-sel yang bukan bagian dari sistem imun.
Sebagai contoh, sel-sel nonimun memiliki gen-gen yang memungkinkan sel-sel itu  melepaskan sitokin dan kemokin, duta-duta kimiawi yang menimbulkan sebuah respons imun. Aktivitas ini cukup penting bagi kesehatan seluler.
Semua sel rentan terhadap, misalnya, transformasi menjadi kanker, atau terhadap infeksi. Ketika perubahan-perubahan berbahaya seperti itu terjadi, sel-sel harus bisa memberitahu sistem imun tentang adanya masalah, namun mutasi pada gen-gen tersebut bisa menciptakan sinyal-sinyal bahaya yang nyata ketika sel-sel tidak benar-benar rusak. Sistem imun akan bereaksi seolah-olah sel-sel itu rusak.
Tanda-tanda Kerentanan
Sebuah kajian oleh Eizirik dan rekan-rekannya yang diterbitkan pada Januari lalu di Science Advances memberikan contoh sel-sel target yang menyesatkan dalam berbagai penyakit autoimun.
Para ilmuwan itu memeriksa hasil penelitian asosiasi genom yang pernah diterbitkan dan menemukan bahwa lebih dari 80 persen varian genetik yang teridentifikasi diekspresikan oleh sel-sel target pada diabetes tipe 1 dan 3 penyakit autoimun lainnya: multipel sklerosis, lupus dan artritis rematoid.
Kajian tersebut bukan hanya menunjukkan bahwa sel-sel target mengandung gen-gen terkait penyakit, tetapi juga bahwa pada orang-orang yang berpenyakit, protein tersebut lebih banyak dibuat daripada pada orang-orang yang sehat.
Eizirik dan kolega-koleganya menggali basis data genetik yang dibuat dari biopsi-biopsi jaringan yang terkena dari orang-orang dengan penyakit autoimun: sel-sel pankreas orang-orang dengan diabetes, jaringan sendi dari orang-orang dengan artritis rematoid, sel-sel ginjal dari orang-orang dengan lupus dan bahkan sampel-sampel autopsi dari otak orang-orang dengan multipel sklerosis.
Analisis mereka menunjukkan bahwa banyak gen-gen kandidat sangat aktif dalam jaringan yang ditargetkan, dan banyak dari potongan DNA aktif ini muncul pada banyak penyakit, yang mengarah pada benang-benang merah yang sama.
Diantara gen-gen teratas yang menunjukkan aktivitas tambahan adalah gen-gen yang terkait dengan interferon, kelompok sitokin proinflamasi yang dilepaskan oleh sel-sel untuk menurunkan sel-sel imun ketika ada masalah seperti sebuah infeksi virus.
Banyak sel target pada sebuah penyakit autoimun juga memiliki fitur-fitur nongenetik yang membuat sel-sel itu sangat rentan terhadap serangan. Sel-sel itu memiliki setidaknya 3 kelemahan intrinsik.
Pertama, banyak dari sel-sel itu berada dalam kelenjar seperti tiroid dan pankreas, penghasil hormon yang memompakan hormon-hormon dengan kecepatan tinggi dan menciptakan banyak stres.
Karena sel-sel itu sudah berada di bawah banyak tekanan, sedikit stres seluler tambahan bisa mengubah keseimbangan menuju malfungsi dan patologi, yang memberi peringatan kepada kru pembersihan dari sebuah sistem imun.
Kedua, sel-sel itu mensekresi hormon dan peptida lain secara langsung ke dalam aliran darah. Molekul-molekul tersebut mengalir ke seluruh tubuh. Ini berarti bahwa, sebagai tanda-tanda dari sel-sel itu, molekul-molekul tersebut bisa mensensitisasi sistem imun dari jarak jauh.
Kelemahan ketiga dari sel-sel target adalah bahwa sel-sel itu dipenetrasi oleh banyak pembuluh darah, sehingga mudah diakses. Ini berarti bahwa begitu disensitisasi, sel-sel imun memiliki pekerjaan yang mudah dalam mencapai sel-sel target.
Selain kerentanan-kerentanan itu, sel-sel target bisa bereaksi terhadap ancaman luar, misalnya kerusakan akibat virus, dengan cara-cara yang menimbulkan sebuah respons imun yang kuat.
Beberapa sel menghancurkan diri sendiri ketika terinfeksi virus, mengeluarkan diri sendiri sebelum bahaya menyebar dan sebelum intervensi sistem imun diperlukan. Akan tetapi, sel-sel tertentu yang terkena penyakit autoimun, misalnya neuron dan sel beta, jumlahnya terbatas dan hanya menunggu kematian setelah terinfeksi virus.
Kita bermasalah jika terlalu banyak sel yang mati. Jika sel-sel mati menempel di sekitarnya, maka sistem imun mulai menafsirkan molekul-molekul yang dilepaskan oleh sel-sel itu sebagai tanda bahwa semua sel dari kelompok itu sedang bermasalah, kemudian terjadilah serangan autoimun.
Salah satu contoh yang mencolok dari kelemahan dalam sel-sel target yang mengarah pada sebuah respons imun berasal dari vaskulitis penyakit pembuluh darah.
Kelainan tersebut bukan sebuah penyakit autoimun klasik, karena tidak bergantung pada autoantibodi, tetapi merupakan sebuah contoh penyakit autoinflamasi di mana sebuah kelompok sel yang dikenal sebagai sel-sel imun mieloid mengejar sel-sel lain yang membentuk arteri, vena, dan kapiler.
Sebuah bentuk agresif yang langka pada anak-anak dihasilkan dari sebuah mutasi dalam gen untuk enzim metabolik yang disebut adenosin deaminase 2. Enzim itu meregulasi aktivitas baik dalam sel-sel yang menyerang maupun yang diserang, menurut kajian pada 2020 yang dipimpin oleh Sharma dan diterbitkan dalam Science Advances.
Ketika anak-anak itu kehilangan enzim adenosin deaminase 2, keseluruhan sistem menjadi tidak teratur. Hasil akhirnya adalah bahwa sel-sel target mulai memproduksi sitokin, dan ini memiliki efek pengamat untuk mengaktivasi selsel mieloid. Itulah sel target yang menyebabkan masalahnya sendiri.
Pemicu dari Luar
Bahkan sel-sel dengan kelemahan bawaan tidak mengalami masalah autoimun dengan sendirinya. Selain itu, pada orang-orang nondiabetik, Mallone menemukan sel T yang bisa menyerang sel beta, tetapi menahan serangannya.
Sesuatu membalikkan keseimbangan dan memulai peristiwa dalam jaringan target yang tampaknya memulai gangguan sistem imun. Banyak ilmuwan berpikir bahwa hal itu sering kali merupakan infeksi virus yang sedang lewat atau mungkin paparan terhadap bahan-bahan kimia yang toksik, dan mungkin terjadi bertahun-tahun sebelum kelainan autoimun menjadi cukup jelas untuk dideteksi.
Salah satu penyebab yang sudah lama dicurigai pada diabetes tipe 1 adalah virus Coxsackie, sebuah patogen umum, yang biasanya menyebabkan penyakit ringan yang muncul sebagai ruam kulit dan sariawan.
Akan tetapi, virus Coxsackie bisa menyerang pankreas dalam keadaan yang tepat. Jika jumlahnya mencukupi, virus Coxsackie bisa menginfeksi sel-sel beta dan membunuh beberapa di antara sel-sel itu.
Itu bisa menyebabkan inflamasi yang menarik lebih banyak sel imun ke tempat di mana sel-sel beta mati. Dalam pergolakan maut, sel-sel beta bisa melepaskan antigen-diri khas yang mensentisasi sel-sel imun di dekatnya, menyebabkan sel-sel imun itu mengejar sel-sel beta lainnya, karena sel-sel tersebut memiliki ciri khas antigen yang serupa.
Pencampuran banyak bagian itu sangat penting. Pada dasarnya, dibutuhkan 3 bahan: antigen-diri, lingkungan inflamasi dan presisposisi autoimun. Ketiga bahan ini harus bertemu di tempat dan waktu yang sama.
Ini mungkin salah satu alasan mengapa sangat sulit untuk mengidentifikasi pemicu lingkungan, karena kita semua terpapar, tetapi itu tergantung pada kondisi tertentu.
Pandangan ini menggantikan sebuah gagasan lama, bahwa virus memicu reaksi autoimun ketika protein virus secara molukuler terlihat sangat mirip dengan antigen-diri, yang menyebabkan sel-sel imun menjadi bingung karena kemiripan itu dan menyerang diri sendiri.
Dukungan untuk gagasan ini, yang disebut peniruan (mimikri) viral, mulai runtuh ketika para peneliti mengumpulkan bukti bahwa kemiripan molekuler semacam itu cukup umum tetapi sangat jarang menyebabkan penyakit.
Ada sejumlah molekul dalam tubuh manusia dan agen penginfeksi yang terlihat mirip satu sama lain, dan molekul-molekul itu disebut reaktif silang. Reaktivitas silang sangat melimpah dan bisa ditemukan di mana-mana. Jika reaktivitas silang menyebabkan penyakit, kita harus melihat penyakit pada tingkat yang lebih tinggi. Reaktivitas silang itu sendiri bukan jawabannya.
Dengan demikian, gagasan tersebut telah diberlakukan, bahwa virus membunuh beberapa sel target dan menimbulkan inflamasi, dan di tengah-tengah semua ini, beberapa sel imun disensitisasi terhadap protein sel-sel yang sekarat.
Peningkatan Jumlah Kasus Penyakit Autoimun
Iritan lain dari luar tubuh, misalnya obat-obatan dan bahan-bahan kimia lainnya, bisa menimbulkan kondisi inflamasi dan memberikan lebih banyak kesempatan untuk bertemu dengan penjaga sistem imun yang salah.
Beberapa ilmuwan berpikir pertemuan dengan zat-zat tersebut bisa menjelaskan lonjakan frekuensi penyakit autoimun selama beberapa dekade terakhir.
Kepustakaan
1. Sutherland, Stephani, How Autoimmunity Starts, Scientific American, September 2021, hlm. 34-40.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.
Jonggol, 26 Agustus 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H