Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Fisika untuk Hiburan 81: Efek Fotolistrik (Bagian II)

14 Agustus 2021   06:06 Diperbarui: 14 Agustus 2021   06:39 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari artikel sebelumnya, Fisika untuk Hiburan 80: Efek Fotolistrik (Bagian I), kita bisa mendapatkan wawasan tentang proses yang terjadi selama efek fotolistrik. Memang, seperti yang telah dikembangkan dengan kuat bahwa arus mengalir melalui fotosel dari katoda ke anoda, dengan kata lain, dari kutub negatif ke kutub positif, bisa disimpulkan bahwa pembawa arus adalah elektron-elektron, tetapi dari mana asal elektron-elektron itu?

Eksperimen kita menunjukkan bahwa arus mengalir hanya ketika katoda disinari dengan cahaya. Oleh karena itu, cahaya bekerja pada katoda sedemikian rupa sehingga katoda mulai mengemisi elektron-elektron.

Selain itu, semakin banyak cahaya yang menyinari katoda, semakin banyak pula elektron yang diemisi. Sekarang, bagaimana cahaya bekerja pada zat untuk membebaskan elektron-elektron di dalam zat tersebut?

Sebuah batu yang dilemparkan ke atas akan terbang semakin tinggi, semakin besar kecepatannya, semakin besar energi yang diterimanya saat dilemparkan.

Namun, tidak peduli seberapa tinggi batu itu terbang, ia akan selalu kembali ke bumi karena gravitasi Bumi.

Kita tahu bahwa jika kepada sebuah benda, misalnya roket, atau bahkan partikel elementer, kita berikan kecepatan sekitar 8.000 m/s, dan dengan demikian memberikan energi yang sesuai, benda itu tidak akan kembali lagi ke bumi tetapi akan menjadi "satelit bumi."
Jika kecepatan awal sebuah benda melebihi 11.200 m/s, ia akan melampaui batas gravitasi bumi.

Hal serupa juga terjadi pada elektron-elektron. Saat menembus ke dalam zat, cahaya memberikan energinya kepada elektron-elektron di dalamnya. Energi tambahan ini meningkatkan kecepatan elektron.

Untuk setiap zat, jika kecepatan baru itu lebih besar dari nilai tertentu dan gerakan elektron-elektron adalah keluar dari zat, maka elektron-elektron akan meninggalkan zat itu dan "naik" ke atas permukaannya.

Semakin besar energi yang diterima dari sinar-sinar cahaya, semakin besar kecepatan baru elektron-elektron dan semakin jauh pula perpindahan dari katoda menuju anoda.

Johann Kepler tidak akan mampu menetapkan hukum gerak planet-planet jika pengamatan yang dilakukan oleh astronom Denmark Tycho Brahe dan Kepler sendiri tidak akurat.

Kelihatannya aneh, tapi untungnya  instrumen-instrumen yang dimiliki oleh kedua ilmuwan itu belum mencapai tingkat kesempurnaan di mana mereka bisa melihat ketidakteraturan dalam gerakan planet-planet, yang pada masa itu mungkin telah menyebabkan para ilmuwan kebingungan dan mencegah mereka menemukan hukum-hukum yang paling penting itu.

Dalam eksperimen dengan fotosel, kita juga menggunakan instrumen yang agak tidak sensitif. Ketika kita membalikkan koneksi baterai, kita mengamati tidak ada arus dan karena tidak ada arus sama sekali, kita menarik beberapa kesimpulan yang sangat penting.

Namun, sebenarnya tidak demikian. Kita tidak mendeteksi arus apa pun karena sangat kecil dan tidak terdeteksi oleh instrumen kasar seperti yang kita gunakan.

Sekarang mari kita ulangi eksperimen dengan menggunakan instrumen yang jauh lebih sensitif.

Kita menyebut elektroda yang didatangi sinar-sinar cahaya sebagai katoda, meskipun kutub baterai yang dihubungkan ke katoda adalah kutub positif.

Nyalakan unit dan turunkan tegangan yang diberikan ke fotosel, lalu amati pembacaan instrumen.

Tegangan diukur dengan voltmeter biasa. Jika tegangannya minus 10 atau 20 Volt pada awal eksperimen, kita tidak bisa mendeteksi arus apapun, walaupun instrumennya sangat sensitif.

Namun, ketika tegangan dinaikkan menjadi beberapa Volt, indikator instrumen yang mengukur intensitas arus akan menyimpang dari nol.

Selain itu, kita akan menemukan bahwa elektron-elektron bergerak menuju anoda meskipun sebuah tegangan negatif telah diaplikasikan. Semakin kecil nilai absolut dari tegangan negatif, semakin kuat pula arusnya.

Untuk menjelaskan fakta yang agak tidak lazim ini, akan berguna jika kita mengingat perilaku batu ketika dilemparkan ke atas.

Telah dikatakan di atas bahwa semakin besar kecepatan awal batu, semakin besar pasokan energinya, dan semakin tinggi pula batu itu terbang. Namun, berapa pun kecepatan awalnya, jika tidak melebihi 8.000 meter/s, batu itu pasti akan kembali ke bumi.

Sekarang, apa yang akan terjadi jika sebuah benda ruang angkasa yang sangat besar tiba-tiba muncul pada jarak yang relatif kecil ke bumi?

Pada kasus ini batu itu mungkin tidak kembali, walaupun kecepatan awalnya jauh lebih kecil. Batu itu sekarang tidak hanya bergantung pada gravitasi bumi, tetapi juga pada gravitasi dari benda angkasa itu.

Semakin besar gravitasi benda angkasa, semakin kecil pula kecepatan awal yang dibutuhkan oleh batu untuk meninggalkan bumi selamanya.

Misalkan benda angkasa itu tidak menarik batu ketika dilemparkan ke atas, tetapi malah menolaknya.

Bisakah batu mencapai permukaan benda angkasa dalam keadaan seperti itu? Ya, bisa. Untuk mengatasi penghalang seperti itu (melakukan usaha yang diperlukan untuk melawan gaya tolak), batu itu harus diberi sejumlah energi yang diperlukan, atau dengan kata lain diberi kecepatan awal yang diperlukan pada awal pelemparannya.

Dalam eksperimen mental ini kita membuat asumsi yang benar-benar fantastis mengenai keberadaan benda angkasa yang dekat dengan bumi yang, terlebih lagi, alih-alih menarik, malah menolak benda-benda yang mendekatinya.

Tentu saja, tidak ada gunanya membuat asumsi fantastis seperti itu secara tiba-tiba, tetapi jika itu mungkin berguna, fisikawan tidak pernah ragu untuk membuatnya. Dalam kasus kita, manfaatnya adalah bahwa kita mengikuti bentuk yang cukup jelas dari proses-proses yang mendekati yang sebenarnya terjadi dalam sel fotolistrik.

Memang, ketika kita mengaplikasikan tegangan negatif ke anoda, kita memperlambat elektron-elektron yang telah keluar dari katoda dan membuatnya kembali.

Sebaliknya, dalam melakukan "hal yang biasa," yaitu mengaplikasikan tegangan positif ke anoda, kita membantu elektron-elektron untuk meninggalkan katoda.

Jika, mulai dari nol, kita secara bertahap meningkatkan tegangan positif, arus yang mengalir melalui fotosel akan meningkat meskipun fluks cahaya yang datang pada katoda tetap bernilai konstan.

Hal ini terjadi karena ketika tegangan positif naik, gaya tarik elektron-elektron ke anoda juga meningkat, dan elektron-elektron dengan kecepatan awal yang lebih kecil akan bisa  mencapai permukaannya.

Namun, arus tidak akan meningkat tanpa batas. Pada tegangan tertentu, arus akan mencapai maksimum dan setelah itu tidak akan berubah lagi, tidak peduli seberapa besar kita menaikkan tegangan.

Ini wajar, karena gaya tarik ke anoda menjadi demikian besar sehingga bahkan elektron-elektron yang  "paling lambat" pun tidak akan kembali ke katoda.

Peningkatan lebih lanjut dari gaya ini tidak akan meningkatkan arus. Arus yang mengalir melalui fotosel dalam keadaan ini disebut arus saturasi (penjenuhan). Tidak boleh dilupakan bahwa menurut hukum Stoletov, nilai dari arus ini semakin tinggi jika fluks cahaya yang datang ke fotokatoda semakin besar.

Sekarang tidak akan sulit untuk memahami kasus di mana baterai dihidupkan secara terbalik. Anoda kemudian memainkan bagian dari benda angkasa yang menolak, dan semakin tinggi nilai absolut dari tegangan negatif, semakin besar pula gaya tolaknya.

Dalam hal ini setiap elektron akan jauh dari anoda. Hanya elektron tercepat yang akan mengatasi penghalang tersebut.

Ketika tegangan negatif meningkat, jumlah elektron akan terus berkurang dan akhirnya  menjadi nol, arus akan berhenti mengalir melalui sel.

Dengan mengetahui nilai tegangan negatif antara anoda dan katoda, para fisikawan bisa menghitung kecepatan awal atau energi awal elektron yang mengatasi gaya tolak. Energi ini dinyatakan dalam elektronvolt (eV).

Jadi, jika sebuah elektron mengatasi gaya tolak yang timbul pada beda potensial antara anoda dan katoda sebesar 5 Volt, ini berarti energi awalnya adalah tidak di bawah 5 eV.  Dengan memvariasikan nilai tegangan negatif antara anoda dan katoda dan mengukur arus setiap kali, kita bisa dengan mudah menemukan jumlah elektron yang menerima energi awal yang pasti pada setiap penyinaran yang diberikan.

Sekarang kita bisa mendekati tahap yang menentukan dalam penyelidikan efek fotolistrik. Apa yang akan terjadi, jika alih-alih cahaya putih yang merupakan campuran sinar-sinar dengan panjang gelombang yang berbeda, kita menyinari katoda dengan cahaya monokromatik, yang semua gelombangnya memiliki panjang yang praktis sama ?

Pada saat eksperimen ini pertama kali dilakukan, teori gelombang telah bertahan selama sekitar 90 tahun.

Selama tahun-tahun ini, lebih dari satu generasi para fisikawan yang telah datang dan pergi dan tidak ada dari mereka yang meragukan autentisitas absolut teori gelombang karena semua penemuan baru dalam bidang optika selalu berhasil ditafsirkan menurut konsep gelombang.

Yang menjadi kejutan adalah, tidak ada ilmuwan yang heran ketika mereka mendengar hasil kajian efek fotolistrik dengan penyinaran monokromatik!

Pertama-tama, ternyata cahaya dengan panjang gelombang tertentu mengeluarkan elektron dari fotokatoda. Semakin pendek panjang gelombang cahaya datang, semakin mudah elektron meninggalkan katoda.

Dengan mengaplikasikan tegangan negatif dari berbagai besaran ke anoda fotosel, ditemukan bahwa energi elektron yang diemisi dan, oleh karena itu, kecepatan awalnya tetap konstan ketika intensitas cahaya diubah, dan hanya bergantung pada panjang gelombang.

Jika sinar-sinar cahaya yang datang semakin biru atau panjang gelombangnya semakin kecil, maka semakin besar tegangan negatif yang harus diaplikasikan pada anoda untuk menghentikan arus foto sepenuhnya.

Sebaliknya, semakin panjang gelombang cahaya datang, semakin kecil energi elektron yang dibebaskan. Terlebih lagi, ketika panjang gelombang cahaya datang mencapai nilai tertentu, efek fotolistrik berhenti, tidak peduli seberapa besar fluks cahaya datang atau tegangan anoda dinaikkan.

Panjang gelombang akhir di mana efek fotolistrik berhenti disebut batas merah dari dari efek fotolistrik. Batas merah ini berbeda untuk zat yang berbeda.

Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menaikkan batas merah dan memindahkannya ke dalam wilayah gelombang cahaya yang panjang. Saat ini fotokatoda telah dirancang memiliki batas merah pada panjang gelombang 1,2 hingga 1,6 mikron.

Teori gelombang mengisyarakatkan bahwa energi elektron-elektron yang dikeluarkan dari katoda oleh cahaya harus meningkat dengan bertambahnya fluks cahaya.

Eksperimen mengungkapkan sebuah keteraturan yang berbeda: ketika fluks cahaya meningkat, energi elektron yang dipancarkan oleh fotokatoda tidak berubah, tetapi jumlah elektron bertambah. Energi elektron yang meninggalkan fotokatoda meningkat ketika panjang gelombang cahaya datang diperpendek.

Setelah penemuan efek fotolistrik, para ilmuwan kembali diwajibkan untuk beralih ke esensi optika fisik dan mencari jawaban atas pertanyaan mendasar: "Apa itu cahaya?"

Catatan:
Ketika cahaya jatuh pada sebuah pelat logam, elektron-elektron diemisikan dari pelat itu, akan tetapi kecepatan maksimum fotoelektron ini tidak tergantung pada intensitas cahaya (seperti yang dijelaskan oleh teori elektromagnetika klasik), tetapi hanya pada frekuensinya. Ini adalah penjelasan Einstein dengan menggunakan teori kuantum, yaitu proses emisi fotolistrik yang melibatkan konversi energi hv dari satu foton menjadi energi kinetik fotoelektron (ditambah energi yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron dari pelat logam).

Kepustakaan:
1. Pauling, Linus, and Wilson, E. Bright., Introduction to Quantum Mechanics with Applications to Chemistry, McGraw-Hill Book Company, Inc., New York, 1935.
2. Perelman, Y., Physics for Entertainment, Book 2, Shkarovsky, A. (Transl.), Foreign Language Publishing House, Moscow, 1936.
3. Steinhaus, A., The Nine Colours of Rainbow,  Sobolfy, D. (Transl.), MIR Publishers, Moskow, 1966.
4. Diary Johan Japardi.
5. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 13 Agustus 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun