Sudah sejak lama, sebagai seorang poliglot dan pemerhati yang mempelajari dan mengamati berbagai bahasa asing maupun daerah, perhatian saya tidak luput dari hal-hal kecil, misalnya imbuhan. Imbuhan terdiri dari awalan, sisipan, dan akhiran.
Awalan
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal beberapa awalan sebagai berikut:
1. ber-
2. me-
3. di-
4. ke-
5. per-
6. pe-
7. ter-
8. se-
Untuk fungsi masing-masing awalan lihat laman Kelas Bahasa Indonesia.
Awalan pada Kata Ulang
Untuk jenis-jenis dan contoh-contoh kata ulang, lihat laman Kata Ulang.
Saya hanya akan memberikan beberapa contoh awalan yang dibentuk dari suku kata pertama dari sebuah kata dasar yang akan dijadikan kata ulang dwipurwa:
1. Laki menjadi lalaki menjadi lelaki, dalam bahasa Filipino atau Tagalog, kata ulang yang digunakan adalah lalaki.
2. Tangga menjadi tatangga menjadi tetangga.
3. Luhur menjadi luluhur menjadi leluhur.
Di sini awalan dari masing-masing kata ulang mengalami perubahan bunyi menjadi awalan berfonem "e." Saya menduga ini disebabkan oleh adanya hambatan pengucapan bunyi yang dalam bahasa Jepang disebut rendaku (pengurutan pengucapan bunyi) atau merupakan sebuah sandi fonologis, lihat artikel saya: Sandi Fonologis: Sebuah Artikel Inpromptu Saya.
Saya menemukan sebuah hal yang menarik di sini, yaitu pada dua suku kata pertama tidak digunakan fonem yang sama, tapi dibuat bergantian, misalnya antara fonem a dengan e:
1. Kepanjian menjadi kepanjen.
2. Pengantian menjadi penganten.
Tetapi:
1. Kebupatian menjadi kabupaten (bukan kebupaten).
2. Kementerian menjadi kamentren (bukan kementren) .
Tampaknya pergantian bunyi ini diberlakukan juga pada kata ulang dwipurwa di atas.
Dengan pola yang sama, muncullah sebuah kata ulang dwilingga yang diubah menjadi kata ulang dwipurwa, yaitu gara menjadi gagara menjadi gegara, varian dari gara-gara.
Sisipan
Dalam bahasa Batak, terdapat sebuah imbuhan yang sangat produktif, yaitu "in," contoh:
1. Melihat: bereng menjadi binereng.
2. Mendengar: bege menjadi binege.