Buku-buku dalam Pikiran.
Untuk bisa mencicipi rasa yang lezat, saya tidak pernah membatasi sumber bacaan saya, dan saya sudah sering membaca atau mendengar sebuah ungkapan, misalnya dari laman ini: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Rasa dalam kalimat ini melekat dengan kuat dalam pikiran saya, dan saya pikir saya juga harus bisa membagikan rasa yang sama kepada orang lain.
Pengalaman saya pernah membawa saya ke dalam sebuah lingkungan yang belakangan saya baca sebagai "kaum introvert yang sudah dijajah oleh kaum ekstrovert." Pengalaman ini  menjadi salah sebuah topik dalam buku berbahasa Inggris berjudul Phase II Westernization (Pembaratan Fase II) yang saya tulis pelan-pelan karena saya ingin mengumpulkan sebanyak-banyaknya bahan, yang tidak akan usang, dan kelak menerbitkan sebuah buku yang  relatif komprehensif, mungkin di Amerika Serikat.
Saya beri beberapa contoh tentang dampak Pembaratan Fase II ini:
1. Dulu, pada masa kebanyakan orang masih tamatan SR (Sekolah Rakjat), ada seorang pemuda yang dicap "kebarat-baratan" atau lebih spesifik lagi "kebelanda-belandaan," so pintar dan sok pamer, tapi nyatanya apa? Pemuda ini fasih berbahasa Belanda! Saya membandingkan ini dengan segelintir orang zaman now yang sering membuat saya tertawa:
By the way ngomong-ngomong, saya mau melakukan approach pendekatan, saya lebih prefer (lebih lebih suka), which is....., dll, mencampuradukkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia secara sangat tidak proporsional.
2. Lingkungan yang saya sebut di atas punya kebiasaan memberikan kesaksian dengan aneka bahasa bermuatan (loaded language) seperti: kamu awesome, I love you (saya namakan ini obral obrol karena hanya diucapkan tanpa rasa), kebiasaan ekstrovert yang terbawa-bawa ke sini. Orang esktrovert sendiri menilai ucapan "how are you" mereka sudah bukan didasari perasaan hati, pokoknya diucapkan saja.
Dalam dialek Hokkien, gejala ini disebut "simsu sia lang cai" (perasaan hati disebarkan kepada orang lain). Teman saya yang orang Amerika pernah menyalahkan orang Timur (introvert) sebagai "orang dingin" dan saya langsung bantah, "Kami pendiam, bukan dingin. Kami hanya nyaman curhat kepada orang dekat yang kami percayai." Teman saya ini pun terdiam seribu bahasa, setelah mengatakan "Oh, I see."
Semua pengalaman ini membuat saya sangat berhati-hati dalam menulis, jangan sampai apa yang saya tulis menimbulkan ketidaknyamanan, sekecil apa pun, kepada pembaca saya. Apalagi dalam komunikasi lisan, dengan berbagi hal yang sederhana saja saya pernah mengalami ketidaknyaman dari teman bicara saya, yang merasa tidak nyaman dengan ucapan saya.
Saya, di lingkungan tertentu, "Kayaknya pencipta lagu ini lebih pakar dari pakar Mekanika Kuantum mana pun."
Teman bicara: "Kenapa?"
Saya: Coba kamu berikan penjelasan yang masuk akal kepada saya, bagaimana mungkin "hujan awal, hujan akhir, dicurahkan bersama-sama?"
Teman bicara: "Ah, kamu terlalu sensitif, hal kek gitu aja kamu persoalkan. Ini kan lagu rohani, nyanyikan sajalah."
Akhirnya, saya memilih untuk keluar dari lingkungan itu.
Pengalaman inilah yang mendasari saya menambahkan kata-kata (mulai dari "namun") dalam sebuah ungkapan menjadi: Â Semua orang diberi hak yang sama untuk mendiami bumi, namun tak ada satu pun orang yang punya hak untuk membawakan dampak tak diinginkan kepada orang lain, sekecil apa pun itu.
Pengalaman serupa adalah ketika saya mendengar lagu berisi kata-kata "izinkanku bertobat." Saya tidak lagi mendiskusikan hal ini dengan siapa pun, cukup saya pikirkan sendiri dan menyimpan hasil olahan rasa saya juga dalam pikiran: "Ini orang apakah minta izin ketika berbuat dosa? Bukankan berbuat dosa dan bertobat adalah pilihan dan keputusan pribadi?" (Saya bagikan hasil olahan itu di sini hanya sekadar untuk dibaca, hasil olahan Anda atas rasa dalam kalimat ini harap disimpan juga dalam pikiran Anda).
Apa yang kau tidak mau orang lain lakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain.
Dari apa yang saya alami, saya juga tidak mau orang lain mengalaminya, dan sebelum saya menulis, saya memastikan:
1. Yang saya tulis harus logis dan bermanfaat bagi saya maupun orang lain.
2. Kalau ada diary saya yang tidak memenuhi persyaratan nomor 1, saya biarkan isinya mengendap dalam pikiran saya, atau paling banter ya cuma tertulis dalam unshared diary itu.