Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Coba-coba Menyelami Puisi Ali Musri Syam: Buku, Nasibmu Kini

18 Mei 2021   13:19 Diperbarui: 18 Mei 2021   16:41 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Ali Musri Syam, Kompasianer yang pada satu di antara beberapa hal, punya kepedulian, ketertarikan, dan dengan demikian kepemerhatian sastra, menayangkan puisi ini kemarin, 17 Mei 2021.

Di sini harus saya jelaskan:

Kata "coba-coba" dalam judul artikel bukan berarti iseng, tidak serius, atau bahkan main-main. Sama sekali tidak. Seperti yang pernah saya "ucapkan" dalam artikel: Dilema H-4 Bambang Syairuddin, dan sekarang saya tujukan ke pak Ali:

Hanya penyair yang bisa lebih memahami syair yang disyairkan oleh seorang penyair, dan jumlahnya sedikit, kalau pun tidak saya katakan langka. Jadi maklumilah pak, dan teruslah berkarya, karena karya Anda kelihatannya irit kata-kata, tapi bisa memberi seribu makna bak selembar foto, karena Anda adalah seorang penyair.

Saya tidak melihat diri saya sebagai seorang penyair, dan saya menuangkan imajinasi saya untuk menulis hal-hal selain puisi, dan karena artikel ini bukanlah sesuatu yang biasa saya lakukan, maka tidak salah toh, kalau saya katakan bahwa ini adalah "coba-coba?" dalam pengertian bahwa saya hanya sesekali berupaya mengaplikasikan imajinasi saya itu pada sesuatu yang tidak saya lakukan setiap harinya, dan mudah-mudahan bisa diterima oleh pak Ali, sang penyair kita. Saya hanya pernah menulis sebuah puisi dan akan menuangkannya dalam sebuah artikel setelah ini.

Lantas, inilah beberapa alasan yang menyemangati saya untuk menuliskan artikel ini:

1. Walau baru saling mengenal dengan pak Ali selama sebulan lebih berkat Kompasiana, namun kami sudah membentuk semacam "jembatan pikiran" yang tinggal ditindaklanjuti dan diejawantahkan dalam bentuk silaturahmi.

2. Puisi pak Ali ditayangkan bertepatan dengan Hari Buku Nasional, dan bertepatan pula dengan penayangan beberapa artikel saya terkait buku-buku.

3. Saya melihat di satu sisi, pak Ali melukiskan buku yang diperlakukan bak raja (pada bait ke-4), namun pada bait 1-3 dan bait terakhir, lukisan itu menyandang keprihatinan pak Ali akan keadaan sang raja itu. Saya pribadi selalu memperlakukan buku-buku saya persis sama dengan yang dilukiskan oleh pak Ali, dan saya ikut merasakan keprihatinan pak Ali.

Di sini saya uraikan coba-coba saya, dan Anda bisa membuka artikel pak Ali untuk melihat puisi itu selengkapnya.

Catatan keprihatinan pada bait ke-1: penuh sawang.

Sawang yang selama ini saya maknai adalah ruang antara langit dan bumi. Saya bahkan pernah berencana mengusulkan sawang sebagai padanan kata "cloud," misalnya "cloud storage" (penyimpanan di sawang atau tidak apa-apa juga kalau disebut sawang penyimpan) yang terdengar aneh kalau kita terjemahkan menjadi "penyimpanan di awan." Ternyata KBBI menyenaraikan 5 bentuk kata sawang dan makna yang digunakan oleh pak Ali adalah sawang 3 (sarang laba-laba).

Bukan seorang penyair namanya kalau kita (setidaknya saya) bisa langsung menangkap makna di balik puisinya.

Intinya, bait ke-1 menunjukkan keterlantaran buku-buku di rumah para pemilik buku.

Catatan keprihatinan pada bait ke-2: tak tersentuh, sepi, sunyi, sendiri, tak ada yang menjenguk, dan yang paling membuat saya kasihan: membaca dirinya sendiri.

Sang raja, yang selama ini memasuki alam imajinasi orang yang membacanya, sekarang tidak punya pilihan selain mengurung diri dalam imajinasinya sendiri.

Keadaan ini juga terlihat pada bait ke-3.

Hanya baris ke-1 dari 5 baris pada bait ke-4 yang meletakkan buku pada posisi yang semestinya.

Dan sekarang, bait ke-5:
Pak Ali, di sini saya tidak merasakan keprihatinan yang sama.

1. Ada atau tidak ada pandemi, justru saya lebih suka membaca buku cetak dan e-book saya yang jumlahnya hampir 10 kali lipat buku cetak hanya saya baca untuk mengambil isinya yang terkait dengan informasi yang sedang saya cari. 

Jika saya merasa perlu semuanya, saya cetak dia. Jadi, buku-buku cetak saya belum mengalami ancaman akan tergantikan eksistensinya, karena saya masih merasakan kenikmatan kecil, misalnya: mengatakan bahwa sebuah buku itu sangat tebal dibanding buku lain, dengan menunjuk langsung ke buku-buku cetak. Tak mungkin orang bisa melakukan hal ini dengan e-book.

2. Dulu, saya punya kebiasaan yang sudah lama tidak saya lakukan lagi, membaca cersil di toilet, yang kalau pun hendak saya lakukan lagi, tidak nyaman rasanya kalau HP saya yang saya gunakan.

3. Setelah beberapa kali membaca ulang buku Lin Yutang, Makna Hidup (The Importance of Living), sekarang yang ke-12 kalinya, saya bisa menunjukkan sebuah typo, walau hanya 1 huruf, yaitu pada halaman 301 (salah) dan 318 (benar) yang menyebutkan tentang pohon parasol China, yang dalam bahasa Mandarin disebut wutung, dan dalam bahasa Latin Sterculia platanifolia.

Lihat Gambar Judul, typo yang saya maksudkan saya beri bertanda panah warna merah. Paragraf pada halaman 318 saya crop dan pindahkan ke atas agar halamannya kelihatan.

Terimakasih pak Ali buat puisinya yang mencerahkan.

Jonggol, 18 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun