Bukan seorang penyair namanya kalau kita (setidaknya saya) bisa langsung menangkap makna di balik puisinya.
Intinya, bait ke-1 menunjukkan keterlantaran buku-buku di rumah para pemilik buku.
Catatan keprihatinan pada bait ke-2: tak tersentuh, sepi, sunyi, sendiri, tak ada yang menjenguk, dan yang paling membuat saya kasihan: membaca dirinya sendiri.
Sang raja, yang selama ini memasuki alam imajinasi orang yang membacanya, sekarang tidak punya pilihan selain mengurung diri dalam imajinasinya sendiri.
Keadaan ini juga terlihat pada bait ke-3.
Hanya baris ke-1 dari 5 baris pada bait ke-4 yang meletakkan buku pada posisi yang semestinya.
Dan sekarang, bait ke-5:
Pak Ali, di sini saya tidak merasakan keprihatinan yang sama.
1. Ada atau tidak ada pandemi, justru saya lebih suka membaca buku cetak dan e-book saya yang jumlahnya hampir 10 kali lipat buku cetak hanya saya baca untuk mengambil isinya yang terkait dengan informasi yang sedang saya cari.Â
Jika saya merasa perlu semuanya, saya cetak dia. Jadi, buku-buku cetak saya belum mengalami ancaman akan tergantikan eksistensinya, karena saya masih merasakan kenikmatan kecil, misalnya: mengatakan bahwa sebuah buku itu sangat tebal dibanding buku lain, dengan menunjuk langsung ke buku-buku cetak. Tak mungkin orang bisa melakukan hal ini dengan e-book.
2. Dulu, saya punya kebiasaan yang sudah lama tidak saya lakukan lagi, membaca cersil di toilet, yang kalau pun hendak saya lakukan lagi, tidak nyaman rasanya kalau HP saya yang saya gunakan.
3. Setelah beberapa kali membaca ulang buku Lin Yutang, Makna Hidup (The Importance of Living), sekarang yang ke-12 kalinya, saya bisa menunjukkan sebuah typo, walau hanya 1 huruf, yaitu pada halaman 301 (salah) dan 318 (benar) yang menyebutkan tentang pohon parasol China, yang dalam bahasa Mandarin disebut wutung, dan dalam bahasa Latin Sterculia platanifolia.